Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) Mengadakan Pengabdian Masyarakat Tema: “Penulisan Sejarah Pesantren di Cirebon” Pada Yayasan Al-Ishlah Desa Sidamulya Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon

 

Pemateri : DR. Eva Nur Arovah

Materi Pertama: Santri dalam Historiografi: Berdaya-Berbudaya

 

Santri memiliki cara tersendiri dalam mengatasi berbagai persoalan dan mencari solusi bagi berbagai kebuntuan. Santri juga menjadi kelompok yang mampu menciptakan sejarah, peradaban dan kebudayaan sekaligus pelaku kebudayaan dan peradaban itu sendiri. Yang demikian ini serupa dengan membaca ulang posisi strategis santri dalam realitas kehidupan ketika bersentuhan dengan fenomena sosial, politik, ekonomi, serta kebudayaan. Historiografi Indonesia menyebutkan istilah yang merujuk pada betapa berdaya-berbudaya nya santri yaitu Santri Dagang, Santri Kelana dan kaum “Putihan” (Lombard: 2005). Dari semua kawasan pesisir yang menjadi pusat penyebaran Islam tersebut, pesisir utara Jawa memiliki ciri khas tersendiri dengan kehadiran Wali Sanga di Cirebon, Demak, Kudus, Tuban, Gresik, Lamongan, Surabaya. Tidak boleh dilupakan peran yang dipegang Banten, Pemalang, Pati, Jepara, Pekalongan dan kota-kota pesisir lainnya. Tome Pires dalam Suma Oriental (2015) melaporkan bahwa dia menyaksikan para ulama abad ke-16 sangat aktif menjalankan perdagangan, membaur dengan masyarakat dan budayanya, mengajarkan sastra, ilmu pertukangan, perikanan, pelayaran, arsitektur, seni ukir, batik, kaligrafi, musik, dan lainnya. Dengan kata lain Islam yang hadir dengan elsatis membawa serta sentuhan estetik seraya mengalami proses “indonesisnisasi” (Kuntowijoyo, 1995) bahkan mampu melahirkan varian kebudayaan Islam baru di luar tanah kelahirannya.

Lebih jauh lagi para wali juga mendirikan dan membina lembaga-lembaga pendidikan sebagai cikal bakal pesantren yang berkembang semenjak abad ke-16. Bukan sebatas lembaga pendidikan agama, secara kultural pesantren menjadi kunci dalam penciptaan kelompok masyarakat yang dinamai “santri” atau golongan muslim yang taat beribadat (putihan) juga sebagai tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual sekaligus sumber inspirasi bagi sikap hidup yang tenang dan tentram. Pesantren menjadi lahan subur bagi lahirnya ulama atau kiai untuk kemudian mendirikan pesantren lainnya. Beberapa di antara para santri seusai menempuh pendidikan di satu pesantren ke pesantren lain dalam rangka pengembaraan dan memperdalam berbagai ilmu demi terwujudnya cita-cita besar perubahan di tengah umat. Dari sini kemudian muncul istilah Santri Kelana.

Bahkan, kelompok santri menjadi salah satu penentu perubahan besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Analisis yang tajam mengenai hal ini bisa kita saksikan pada saat kolonialisasi berlangsung begitu lama di Indonesia di mana Jawa menjadi pusat perhatian utama jajahan Belanda di Timur. “Pesaing” baru yang datang ke negeri ini perlahan-lahan menguasai jalur perdagangan sekaligus  komoditi-komoditi bernilai ekonomis tinggi di pasaran internasional, melakukan  penaklukan-penaklukan, serta ekploitasi sumber daya alam sekaligus sumber daya manusia secara besar-besaran hingga terbentuk wilayah jajahan Hindia Belanda.

Benang merah antara santri dagang, santri kelana, juga kaum putihan dengan demikian terletak pada mereka-lah kekuatan Islam (terutama Jawa) yang sesungguhnya. Santri dari manapun asalnya semenjak awal menjadi kelompok sosial yang berdaya sekaligus berbudaya. Lewat perdagangan yang tertanam kuat semenjak awal santri menunjukkan diriya berdaya dengan kemandirian ekonomi tetapi tiada henti berkelana untuk memperdalam ilmu, membela bangsa, serta menjadikan kesalehan sebagai landasan hidup.

Pemateri: Aditia Muara Padiatra, M.Hum

Materi Pertama: Langkah Langkah dalam Menulis Sejarah

 

Menurut Sartono Kartodirdjo (1977 61), bidang ilmu sejarah meliputi semua aktivitas manusia, mulai dari riwayat hidup tokoh besar atau sejarah politik antarnegara, sejarah ekonomi satu wilayah hingga sejarah kehidupan sehari-hari suatu komunitas Meskipun hampir seluruh aspek kehidupan sosial bisa dijadikan permasalahan sejarah yang nantinya diharapkan akan menjadi pertanyaan penelitian, sejarawan bertanya dengan cara yang berbeda. “Berpikir Historis” merupakan kerangka sejarawan bertanya. Berpikir ala “Sejarah” meliputi : Signifikansi Historis (Kebaruan, Keterkaitan dengan Hari ini, yang diingat/dikenang, memiliki dampak). Berbasis Bukti (Penafsiran Sejarah berdasarkan sumber, pentingnya kritik sumber). Kontinuitas dan Perubahan (Pentingnya Kronologi dan Periode sasi). Sebab dan Akibat (Kausalitas) -Perspektif Historis (Historical Mindedness).

Menentukan “Permasalahan dari Sejarah – Semua bermula dari pembacaan Historiografi. Makna historiografi berkaitan dengan tema tema sejarah yang pernah ditulis, atau pengkajian tentang sejarah yang bersifat subjektif Dalam artian ini, historiografi sering dikatakan sebagai ‘sejarah penulisan sejarah” atau pengkajian perkembangan penulisan sejarah. Pada ranah historiografi, sejarawan terus melakukan revisi dan berdebat untuk mengungkapkan pandangan tentang perubahan masa lalu. Oleh karena itu, pada umumnya istilah historiografi disematkan pada sejarah mengenai sejarawan dan topik yang diusungnya pada setiap masa yang berjalan.

Terdapat anggapan bahwa kajian pustaka merupakan kegiatan untuk mengambil data dan informasi dan tulisan berupa yang sudah terbit sebelumnya Hal itu tentu kurang tepat. Dan kajian pustaka diperoleh pengetahuan bandingan tentang masalah serupa dari wilayah lain, serta keragaman teoretis dan metodologis yang mungkin bisa dipertimbangkan penerapannya dalam penelitian sejarah (misalnya, di Indonesia) Kajian pustaka semacam itu akan menunjukkan state of the art atau kondisi mutakhir dalam penulisan sejarah Kapan pustaka sebagai eksplorasi historiografs (memahami Hutan) dan meletakkan penulisan ini (“pohon”) dalam konteksnya. Kajian Pustaka Juga bertujuan untuk diskusi dan menemukan keretakan atas masalah yang hendak diteliti untuk kemudian ditambal dengan karya yang kita akan ubah.

Adapun cara menentukan topik pembahasan dengan cara cara seperti ini, yang pertama ada Manageable topic, yang dimana apakah topic tersebut dapat dijangkau, dikuasi oleh kita?. Lalu yang kedua ada Obtainable data, yakni apakah bahasa-bahasa/data-data tersedia secukupnya?. Kemudian  ada Significance of topic yakni apakah topic tersebut penting untuk diteliti?. Dan yang terakhir ada Interested topic, yaitu pakah topic tersebut cukup menarik minat untuk diteliti dan dikajikan?.

Lalu, kedekatan emosional bisa membantu penulis memahami hal-hal yang bagi mereka yang sudah lama berkecimpung di dalamnya dapat merasakannya meski tidak mudah mengungkapkannya.

Kedekatan ini juga bisa membantu penulis mengumpulkan sumber sejarah dan memperkirakan kredibilitasnya. Selama dapat menciptakan jarak antara dirinya dengan kajiannya, kedekatan emosional dapat menambah kenikmatan dan kepuasan pribadi penulis karena mengetahui bahwa apa yang dikerjakannya bermakna bagi keluarga atau masyarakat yang menjadi kajiannya.

Kedekatan emosional membawa tantangan tersendiri, yakni menuntut kematangan emosional penulis untuk menjaga “kadar perasaan” baik rasa cinta, kagum, bangga, benci, jengkel, bahkan dendam agar sedapat mungkin mengedepankan objektivitas. Ungkapan “cinta itu buta” membuat penulis perlu menghindari kebutaan akibat kedekatan emosional yang dapat membuatnya gagal mengidentifikasi sumber sejarah yang relevan atau gagal menawarkan tafsiran dengan sudut pandang yang berbeda.

Pemateri : Aditia Muara Padiatra, M.Hum

Materi Kedua: Cara-cara Penulisan Sejarah

 

Kemudian pada pembahasan selanjutnya kita akan membahas tentang cara cara kepenulisan sejarah. Yang pertama ada merumuskan Judul. Secara umum judul tulisan sejarah terdiri dari tiga bagian yang sama pentingnya. Bagian pertama adalah temuan penting yang menjadi daya tarik tulisan; bagian kedua merupakan konsep utama yang menjadi permasalahan; dan bagian terakhir adalah tempat dan waktu peristiwa (permasalahan) terjadi.

Panjang atau pendek judul tergantung pada kemampuan penulis untuk menjalin ketiga bagian tersebut. Judul yang ringkas belum tentu tepat apabila tidak menggambarkan banyak hal yang dapat memancing calon pembaca untuk terus membacanya. Sebaliknya, judul yang panjang tidak berarti lebih jelas apabila dipenuhi dengan kata-kata yang tidak perlu. Tahap selanjutnya adalah melakukan kegiatan heuristik (Pencarian Sumber) yang dimana terdapat dua macam, ada sumber masalalu dan masa digital. Selanjutnya adalah melakukan kritik sumber. Keraguan terhadap sumber sejarah yang ditemukan dalam tahap pengumpulan sumber merupakan sikap yang harus dimiliki oleh peneliti sejarah. Dalam filsafat sikap sangsi ini disebut skeptisisme—paham yang meragukan setiap fakta dan pernyataan tentang sesuatu.

Fokus pertanyaannya ialah siapa pembuat sumber; kapan sumber dibuat; mengapa sumber dibuat.

Selanjutnya, apakah ada bukti-bukti lain yang menguatkan; seberapa cermat interpretasi yang dibuat. Jawaban atas rangkaian pertanyaan tersebut bertujuan memastikan bahwa sumber yang digunakan dalam penelitian merupakan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada dua jenis kritik sumber, yakni kritik sumber internal dan kritik sumber eksternal.

Dan tahap yang terakhir adalah Interpretasi. Interpretasi sejarah sebagai “pergulatan” dengan sumber. Bagaimana kita memaknai suatu kisah berdasarkan sumber-sumber yang sudah melewati tahapan kritik. Pola “Analisis – Sintesis” Analisis dimaknai sebagai proses menguraikan kandungan sumber penulisan, sedangkan Sintesis adalah proses menyatukan kembali rangkaian data yang ditemukan dari hasil analisis.

Pembahasan selanjutnya adalah tentang kronologi, Periodesasi, dan Kausalitas adalah Kunci. Kronologi berarti urutan rangkaian peristiwa yang terjadi yang berisi penjelasan dari kejadian dalam urutan waktu saat peristiwa terjadi dari awal hingga akhir. Dalam penelitian sejarah, suatu peristiwa harus ditempatkan berdasarkan konteks waktunya. Periodisasi dapat diartikan sebagai satuan waktu yang disebut dalam satu masa, dan biasanya berbeda antara satu dan lainnya serta mempunyai ciri khasnya masing-masing. Kausalitas adalah kesinambungan antara sebab dan akibat yang terjadi dalam suatu urutan waktu yang runut, yang kemudian menjadi suatu “benang merah” dalam membentuk peristiwa sejarah.

Untuk kepentingan penelitian sejarah, ruang lingkup temporal (waktu) penelitian harus ditentukan dengan jelas agar terhindar dari keinginan untuk meneliti semua aspek dalam banyak waktu.

Dengan kata lain, penentuan kronologi dan periodisasi dalam riset akan membantu menjaga fokus, baik dalam pencarian dan pengumpulan sumber maupun dalam analisis dan penulisan.

Kausalitas dalam hal ini juga perlu diperhatikan sebagai lajur agar riset sejarah yang ada dapat runut dan tidak melebar serta “menabrak” peristiwa lainnya, yang sekiranya tidak berhubungan atau berbeda dengan peristiwa yang diteliti.

Pemateri : Aditia Muara Padiatra, M.Hum

Materi Ketiga:  Penulisan Sejarah (Historiografi)

 

Historiografi – bagian akhir dari tahap penelitian dan penulisan sejarah dari sumber (“bahan”) menjadi tulisan (“produk”). Masalah yang sering muncul ketika mulai menulis adalah menemukan kalimat pertama yang baik dan menarik. Nasehat (alm.) Prof. Ibrahim Alfian: “Buatlah secangkir kopi, ambil sepatang pensil, dan mulailah menulis”. Tips melakukan Penulisan Sejarah : Tulisan perlu dibuat secara kronologis atau secara tematis-kronologis, kerangka tulisan baik kronologis ataukah tematis adalah bagian dari strategi menyusun argumen dan menggunakan prinsip IMRAC: (I)ntroduction, (M)ethod, (R)esult & (A)nalysis, and (C)onclusion.

 

Materi Keempat: Etika Sejarawan/Sejarawati

 

Persoalan Etika Penulisan Sejarah : Penulis sejarah yang baik tidak menghakimi pelaku sejarah. Pengacara menyusun risalah pembelaannya demi melindungi kliennya. Ahli sejarah tidak punya klien (atau tidak memperlakukan pelaku sejarah sebagai kliennya). Penulis sejarah tidak akan mengakhiri risalahnya dengan pengambilan keputusan kalah-menang.

Penulis sejarah tidak berusaha membela atau sebaliknya menuduh pelaku sejarah, orang, situasi atau bahkan segala sesuatu yang ditulisnya.

Berkaitan dengan hal itu, penulis sejarah sebenarnya memiliki tugas ganda. Ia harus adil terhadap sumber-sumbernya dan pada saat yang sama karyanya juga harus adil terhadap pembacanya.

Dalam hal ini, penulis sejarah harus jujur, dan tidak menggurui pembacanya. Pembacanya bebas untuk tidak setuju atau sebaliknya menolak jika penulis tidak memiliki data yang lengkap atau mungkin terperangkap dengan “kaca mata kuda”.

Sejarawan dan Etika yang Melingkupinya : Berkaitan dengan tata etika, peneliti dan penulis sejarah dapat merujuk pada Kode Etik yang disusun oleh pengurus MSI cabang Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan, yang ditetapkan pada 2021 dan direncanakan diadopsi oleh MSI tingkat pusat. Kode Etik ini mengatur kewajiban kepada ilmu dan profesi sejarah, sesama sejarawan, dan kepada mitra.

 

Materi Kelima: Kategori Sejarawan

Sejarawan dapat dikategorikan menjadi sejarawan informal dan sejarawan akademis. Sejarawan akademis disebut juga sebagai sejarawan profesional. Mereka menempuh pendidikan formal di dalam lembaga pendidikan sejarah. Ilmu yang mereka pelajari berasal dari metodologi ilmiah dan teori-teori ilmiah di bidang sejarah. Sementara sejarawan informal disebut juga sejarawan amatir. Mereka tidak menempuh pendidikan formal di dalam lembaga pendidikan sejarah. Namun, mereka menempuh pendidikan formal lain seperti hukum, eksakta atau agama. Sejarawan informal disebut sejarawan jika mereka meminati bidang ilmu sejarah. Sejarawan dari masyarakat umum juga disebut sebagai sejarawan informal.

Sejarawan akademis dan sejarawan informal semakin jelas perbedaannya sejak tahun 1960. Pada masa ini, terdapat dua fitur utama yang mengembalikan kajian tentangsejarah lokal. Keduanya adalah pergeseran lingkup sejarah sosial dan perubahan drastis dalam gaya penulisan akademik. Sejarah sosial tidak lagi mencakup lingkungan yang luas hingga ke skala nasional. Namun beralih ke sejarah lokal dengan lingkup yang lebih sempit. Penyempitan lingkup ini untuk memberikan pembedaan yang jelas antara sejarah lokal dan sejarah nasional. Fitur gaya penulisan akademis sebaliknya berkembang dengan penggunaan berbagai metodologi dan bahasa dalam ilmu sosial. Sejarawan profesional mulai memanfaatkan antropologi, linguistik dan ilmu politik.

Sejarawan akademis juga selalu dikaitkan dengan sejarah tinggi. Sebaliknya, sejarawan informal selalu dikaitkan dengan sejarah rendah. Sejarah tinggi adalah sejarah yang penjelasannya memerlukan kemampuan di bidang ilmu sejarah sampai pada tahap publikasi. Sementara sejarah rendah adalah sejarah yang penjelasannya bersifat sangat umum.

Pembedaan antara sejarawan akademis dan sejarawan profesional dapat tidak berlaku pada sejarah lokal. Kondisinya pada saat wawasan sejarah untuk sejarawan akademis tidak dapat diperoleh selain dari wawasan sejarah dari sejarawan informal tentang sejarah lokal. Kerja sama terjadi di antara keduanya melalui peletakan dasar historiografi sejarawan informal untuk studi akademis suatu komunitas yang diteliti sejarahnya.

Materi Keenam: Persoalan Etika Penulisan Sejarah

Ada beberapa hal terkait dengan etika penulisan sejarah yaitu sebagai berikut: penulis sejarah yang baik tidak menghakimi pelaku sejarah, penulis sejarah tidak akan mengakhiri risalahnya dengan pengambilan keputusan kalah-menang, penulis sejarah tidak berusaha membela atau sebaliknya menuduh pelaku sejarah, orang, situasi bahkan segala sesuatu yang ditulisnya. Berkaitan dengan hal itu, penulis sejarah sebenarnya memiliki tugas ganda. Ia harus adil terhadap sumber-subernya dan pada saat yang sama karyanya juga harus adil terhadap pembacanya.

alam hal ini penulis sejarah harus jujur, dan tidak menggurui pembacanya. Pembacanya bebas untuk tidak setuju atau sebaliknya menolak jika penulis tidak memiliki data yang lengkap atau mungkin terperangkap dengan kaca mata kuda.

 

 

Pemateri: Dr. H. Zaenal Masduqi, M.Ag., MA,

Materi Pertama:  Pengenalan Al Jam’iyatul Washliyah

 

Pada tanggal 9 Rajab 1349 H, bertepatan dengan tanggal 30 Nopember 1930 M, terbentuklah AL JAM’IYATUL WASHLIYA dengan ddipelopori oleh pelajar-pelajar Islam dari Maktab Islamiyah Tapanuli Medan, antara lain : Syekh Haji Muhammad Yunus, Syekh Haji Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Haji Abdurrahman Syihab, Al Fadhil Haji Adnan Lubis, Haji Ismail Banda, Haji M. Yusuf Ahmad Lubis.

Al Jam’iyah atau Jama’ah berarti Perkumpulan atau perhimpunan. Al Washliyah atau Washolah artinya menghubungkan. Sehingga arti dari Al Jam’iyatul Washliyah adalah Perkumpulan atau Perhimpunan yang Menghubungkan. Yaitu mengubungkan antara umat manusia dengan Allah Swt sebagai penciptanya. Mengubungkan atau menghimpun manusia dengan manusia lainnya agar bersatu dan menghubungkan manusia dengan alam sekitarnya. Hal ini sesuai dengan makna Hablun-minallah wa hablun minannaas (Hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama manusia).

Asas dan Akidah Al Washliyah : Al Washliyah berasaskan Islam, beri’tikad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dalam fikih bermazhab Syafi’i. Hal ini berdasarkan

BAB II Pasal 2 AD/ART Al Washliyah hasil muktamar XXI Tahun 2021-2026.

Tujuan, Sifat, dan Fungsi : Al Washliyah bertujuan menegakkan ajaran Islam, amar ma’ruf nahi munkar untuk terciptanya masyarakat beriman, bertaqwa, cerdas, amanah, adil, makmur yang diridhai Allah SWT.

Materi Kedua: Al Washliyah adalah Organisasi yang Bersifat Independen.

Al Washliyah berfungsi sebagai: Wadah menyalurkan aspirasi anggota dan masyarakat untuk berperan aktif dalam berbagai kegiatan kemaslahatan umat. Dan sebagai wadah pembinaan dan pengembangan anggota dalam mewujudkan tujuan organisasi. Hal ini berdasarkan BAB II Pasal 3,4,5 AD/ART Al Washliyah hasil muktamar XXI Tahun 2021-2026.

 

Materi Ketiga: Usaha-usaha Al Jama’ah Al-Washiliyah

 

Untuk mencapai tujuan organisasi, Al Washliyah melakukan usaha-usaha:

  1. Melakukan penataan dan pengembangan/peningkatan kualitas manajemen pada lembagalembaga pendidikan dan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan baru pada semuajenjangdan jenis pendidikan.
  2. Melaksanakan amar makruf nahi munkar, mengupayakan peningkatan mutu dan jumlahda’i, serta menyempurnakan manajemen dakwah.
  3. Menyantuni, memelihara, serta mendidik anak-anak dari keluarga miskin, yatim, danterlantar,serta memperbaiki manajemen panti-panti asuhan yang ada, dan membangun panti-pantiasuhan baru.
  4. Meningkatkan kualitas keislaman dan kekhususan kealwashliyahan bagi pimpinan dananggotamelalui kaderisasi ataupun pelatihan terstruktur.
  5. Berpartisipasi dalam mengatasi terjadinya bencana alam, stunting, kelaparan dan masalah sosial lainnya.
  6. Meningkatkan kesejahteraan umat melalui pembinaan dan pengembangan ekonomi.
  7. Melakukan kerjasama atau kemitraan dengan pemerintah maupun pelaku ekonomi, guna menciptakan partisipasi masyarakat dan mendukung munculnya sentra-sentra ekonomi dan bisnis baru terutama yang berbasis syariah.
  8. Mengadakan, memperbaiki, dan memperkuat hubungan persaudaraan umat Islam (Ukhuwah Islamiyah) dalam dan luar negeri.
  9. Melakukan berbagai upaya untuk menegakkan keadilan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
  10. Turut serta membina stabilitas nasional yang mantap dan dinamis di Negara Kesatuan Republik Indonesia, guna mewujudkan kesuksesan pembangunan nasional.
  11. Ikut berperan dalam melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas hubungan persaudaraanumat Islam (ukhuwah Islamiyah) di dalam dan di luar negeri melalui jalur diplomasi.
  12. Melakukan usaha-usaha lain yang dipandang perlu sepanjang tidak bertentangan denganAD/RT.

 

Materi Keempat:  Macam-macam Bentuk Organisasi Al Washliyah

 

Macam-macam Organisasi Al Washliyah :

  1. Organisasi Wanita, dengan nama Muslimat Al Washliyah (MAW).
  2. Organisasi Pemuda, dengan nama Gerakan Pemuda Al Washliyah disingkat GPA.
  3. Organisasi Putri, dengan nama Angkatan Puteri Al Washliyah disingkat APA.
  4. Organisasi Pelajar, dengan nama Ikatan Pelajar Al Washliyah disingkat IPA.
  5. Organisasi Mahasiswa, dengan nama Himpunan Mahasiswa Al Washliyah disingkat HIMMAH.
  6. Organisasi Sarjana, dengan nama Ikatan Sarjana Al Washliyah disingkat ISARAH.
  7. Organisasi Guru dan Dosen Al Washliyah dengan nama Ikatan Guru dan Dosen Al Washliyah disingkat IGDA.

 

Materi Kelima: Perkembangan Al Washliyah di Cirebon

 

Ustadz Luqman Yahya pada tahun 1956 mendapatkan amanat dari H. Udin Syamsudin, Ketua Umum Pengurus Besar Al-Washliyah untuk berdakwah ke Jawa Barat. Dimulai dari kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu.

Awal perjumpaan Al-Washliyah dengan Cirebon (Perbutulan) dimulai dari kegiatan saling mengunjungi dan saling menghubungkan antara tokoh yang yang saling terkait kepeduliannya terhadap pendidikan madrasah. Di Perbutulan sendiri sudah berdiri madrasah dengan nama Al-Hikmah dengan  Kyai Salimi (Ayahanda dari Bapak Haji Aris  Banaji dan Ustadz Ibrahim Salimi Allahu yarham) sebagai kepalanya.

pada  tahun 1957 berdiri Madrasah Al-Washliyah Perbutulan Sumber Kabupaten Cirebon, hasil perubahan dari Madrasah Al-Hikmah.

Pada tahun 1977 SMP Al-Washliyah berdiri, dan tahun berikutnya bermunculan sekolah-sekolah lain.

 

Materi Keenam: Hijran Nabi Muhammad SAW: Memperkuat Masjid dan Pasar

Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah dia memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi yang berarti Masjid Nabi. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad saw. Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin. Saat ini, Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsa adalah tiga masjid tersuci di dunia.

setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, banyak pemimpin berlomba-lomba untuk membangun masjid. Seperti kota Mekkah  dan Madinah yang berdiri di sekitar Masjid Haram dan Masjid Nabawi kota Karbala juga dibangun di dekat makam Husain bin Ali. Kota Isfahan ,Iran dikenal dengan Masjid Imam-nya yang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Pada akhir abad ke-17, Syah Abbas I dari Dinasti Safawiyah di Iran mengubah kota Isfahan menjadi salah satu kota terbagus di dunia dengan membangun Masjid Syah dan Masjid Syaikh Lutfallah di pusat kota. Ini menjadikan kota Isfahan memiliki lapangan pusat kota yang terbesar di dunia. Lapangan ini berfungsi sebagai pasar bahkan tempat olahraga.

Sebagaimana diketahui bahwa bangunan mesjid sekarang banyak dilengkapi infrastruktur lainnya seperti dijelaskan di atas. Salah satunya pasar.

Pasar adalah institusi, prosedur, hubungan sosial  dan infrastruktur tempat usaha menjual barang, jasa  dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang.  Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Beberapa contoh termasuk pasar petani  lokal yang diadakan di alun-alun kota atau tempat parkir, pusat perbelanjaan dan pusat perbelanjaan, mata uang internasional dan pasar komoditas, hukum menciptakan pasar seperti untuk izin polusi, dan pasar ilegal seperti pasar untuk obat-obatan terlarang.

Sebagai umat muslim kita jangan malu untuk berdagang segala jenis barang komoditas, untuk memperkuat ekonomi dan sebagai bentuk hablumminannas, selain kita beribadah di dalam mesjid sebagai bentuk vertikal kita dengan Sang Pencipta, Allah SWT.

 

Materi kedua: Pendirian Pesantren di Sidamulya

Sidamulya dahulu bernama Cilapat. Daerah ini terkenal sebagai pusat kejahatan yang dilakukan oleh mayoritas masyarakatnya. Budaya malima (main, madat, madon, minum, mabok) merupakan kebiasaan sehari-hari masyarakatnya. Ha ini tentu saja menimbulkan keprihatinan bagi Kyai Anas, untuk melakukan hijrah ke daeranh ini. Berbekal sebagai muqaddam tijaniyah yang diperolehnya dari bai’at yang dilakukannya di Madinah baik kepada Syaikh Alfa Hasyim maupun kepada Syaikh Ali Ath-Thayyib, Kyai Anas rela meninggalkan Buntet untuk melakukan dakwah Islamiyahnya ke Desa Cilapat ini.

Berawal dari tanah miliknya Kyai Anas di wilayah ini, maka langkah pertama yang dilakukan oleh Kyai Anas adalah mencari pekerja yang akan membantunya melakukan  pekerjaan di sawahnya. Kemudian seiring berjalannya waktu para pekerja tersebut diajarkan juga tata cara berwudlu dan shalat. Lambat laun mereka diajarkan juga mengaji Al-Qur’an. Peran yang dilakukan Kyai Anas tidak hanya terbatas pada persoalan ibadah saja, juga diajarkan tata cara beretika yang disesuaikan dengan etika Islam, seperti bersikap dan bertutur kata yang lebih baik dan sopan.

Jumlah santri pun kemudian semakin hari semakin bertambah karena adanya tempat ngaji milik Kyai Anas, sehingga masyarakat pun berinisiatif membangunkan masjid sebagai daya tampung jumlah santri yang semakin banyak tersebut. Hingga akhirnya keberadaan Kyai Anas semakin dikenal oleh masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya, tetapi juga oleh masyarakat di luar Cirebon. Nama Sidamulya pun akhirnya ditetapkan menjadi sebuah Desa atas saran dari Kyai Sholeh Benda Kerep sebagai uwa dari Kyai Anas, untuk menggantikan nama

 

Materi Ketiga: Tentang  Pola Kehidupan Pengikut Tarekat Tijaniyah

Pembawa Tarekat Tijaniyah ke Buntet adalah Kyai Anas bin Abdul Jamil. Kyai Anas adalah adiknya Kyai Abbas. Perolehan Tarekat Tijaniyyah yang dilakukan Kyai Anas atas perintah Kyai Abbas, karena saat itu Kyai Abbas sebagai Mursyid Tarekat Syatariyah.[1] Stelah Kyai Abbas memutuskan untuk bergabung kepada Tarekat Tijaniyah dengan berbai’at kepada Syaikh Ali ath-Thayyib, maka Kyai Anas melakukan hijrah ke sebuah tempat bernama Cilapat yang akhirnya berganti nama menjadi Sidamulya, yang berarti Sida (jadi), dan Mulya itu mulia. Saat ini penerus dari Kyai Anas berada pada generasi ketiga. Sama seperti yang dilakukan oleh pendahulunya, pola kehidupan sehari-hari Muqaddam Tijaniyah adalah pola hidup sederhana tapi tetap berkualitas. Tetapi untuk sampai kepada kehidupan tersebut tentu saja membutuhkan sosok guru penggerak dalam hal ini Muqaddam Tijaniyah. Tentu tidak mudah untuk berkiprah dalam bidang ini, kecuali orang-orang yang terpanggil untuk melakukan sebanyak-banyaknya manfaat bagi orang lain, khairukum anfa’uhum linnas (sebaik-baik kalian adalah yang bermanfaat untuk orang lain). Tidak dapat dinafikan bahwa sebagian  besar masyarakat sudah lebih dulu menjalankan kehidupan dan kebudayaannya dengan mewarisi kehidupan yang sudah dijalankan sejak zaman nenek moyangnya. Seperti tentang hidup sederhana, hidup damai, tenteram dan saling membantu sesama sudah berlaku dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Akan tetapi menjalankan kehidupan berlandaskan syariat Islam belum begitu mereka pahami dan jalankan, sehingga peran guru penggerak sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat sehingga masyarakat merasa tidak bisa lepas tanpa adanya guru penggerak tersebut. Peran Guru Penggerak/ Muqaddam Tijaniyah dapat dikatakan sebagai agent of change bagi masyarakatnya tidak hanya dalam bidang ekonomi dan sosial tetapi juga bisa menuntun mereka ke arah kedekatan mereka dengan Tuhan Semesta Alam, Allah SWT.

Materi Keempat:  Amalan-amalan dalam Tarekat Tijaniyah

Adapun wirid yang harus dilakukan (lazim) dalam Tarekat Tijaniyah terbagi tiga: wirid lazim, wadzifah dan hailalah.

Wirid lazim, dilakukan sebanyak dua kali sehari semalam, yaitu pagi setelah shalat subuh sampai waktu dhuha dan sore setelah shalat ashar sampai shalat isya.apabila di kedua waktu tersebut belum dilakukan, maka waktu wirid lazim sampai maghrib. Adapun bacaan yang dibaca para wirid lazim yaitu istighfar, shalawat dan hailalah yang masing-masing dibaca 100 kali, kemudian diakhiri dengan membaca shalawat fatih3 kali dan dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah dan do’a.

Wadhifah, dilakukan dua kali sehari pada waktu siang dan malam. Kalau tidak dapat dikerjakan dua kali, maka malam atau siang saja. Apabila dalam sehari semalam tidak mengerjakan sama sekali, maka untuk hari berikutnya digabung. Demikian juga jika waktu wirid lazim sudah habis tetapi belum mengerjakannya, maka harus menggabungkan di hari setelahnya.  Adapun bacaan yang dibaca pada wadhifah yaitu istighfar 30 kali, shalawat fatih 50 kali, dan hailalah 100 kali, dan diakhiri dengan membaca jauharat kamal 12 kali ditutup dengan membaca surat al-Fatihah dan do’a.

Selain kedua wirid seperti tersebut di atas, ada kegiatan hailalah yang dilakukan setiap hari Jumat sore setelah ashar sampai maghrib. Apabila ada udzur dan tidak mengamalkannya sampai habis waktu, maka tidak perlu mengqadla atau mengganti. Kegiatan hailalah adalah kegiatan wirid untuk membaca laa ilaaha illallah atau membaca Allah tanpa hitungan sampai maghrib. Jika dilakukan sendiri, maka membaca hailalah sebanyak 1600 atau 1500 atau 1200 atau 1000 kali. Kegiatan hailalah diakhiri dengan membaca surat al-Fatihah dan do’a.

Materi kelima: Perkembangan Pondok Pesantren al-Ishlah Sidamulya

Pondok Pesantren al-Ishlah Sidamulya berdasarkan sejarahnya berdiri pada tahun 1937, atau berdiri pada masa Indonesia belum merdeka. Pernah terjadi penyerangan terhadap pesantren ini oleh Belanda sampai habis terbakar, tetapi pesantren ini kemudian berdiri lagi pada tahun 1941. Seiring dengan berjalannya waktu bahwa di lingkungan pesantren harus ada sekolah-sekolah formal, maka pada masa Kyai Junaedi Anas berdirilah sekolah-sekolah /madrasah yang bernama Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah dan MTS sebagai kelanjutan dari pendidikan formal sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Departeman Agama saat itu. Kurang lebih sekitar tahun 2000 an, MTs diubah statusnya menjadi SMP, kemudian keberadaan lembaga formal ini secara berturut-turut dilengkapi dengan berdirinya sekolah PAUD dan RA Al-Fatih. Dengan managerial yang cukup baik dan terencana, keberadaan sekolah-sekolah ini masih ada dengan tambahan fasilitas yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan bagi keberadaan lembaga pendidikan yang dibutuhkan saat ini seperti marching band, hadhrah dilengkapi dengan kajian-kajian kitab kuning. Acara spektakuler terus dilakukan pada masa akhir tahun pelajaran, dengan acara yang cukup meriah acara ini digelar untuk melihat hasil pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh para guru terhadap para siswanya sehingga dampaknya adalah jumlah peserta didik baru yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya bahkan sampai dengan sekarang.

Materi Keenam: Perkembangan Zawiyah Sirr el-Sa’adah

untuk melanjutkan keberlangsungan pesantren yang sudah didirikan oleh Kyai Anas, maka cucu dari Kyai Anas sebisa mungkin berusaha untuk meneruskan keberadaan pesantren meskipun mungkin secara umum bukan tipe pesantren sebagai mana dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Dengan bangunan pondokan yang jauh dari kesan mewah, zawiyah yang dibangun ini adalah bangunan sangat sederhana dengan konsep rumah kayu dengan kayu-kayu seadanya. Dengan atap asbes dan seng, bangunan pondok atau zawiyah ini menambah kesan amat sangat sederhana.

Tetapi walau dibangun dengan konsep sederhana atau ala kadarnya, kegiatan yang ada di dalamnya tidak sesederhana bangunannya. Ini lah konsep yang dimiliki oleh pendirinya yaitu Kang Nakib. Menurutnya, orang hebat adalah orang yang biasa mengerjakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa. Hal ini dilakukan karena bagi Kang Nakib, konsep sederhana itu adalah konsep yang diajarkan Rasulullah dan para sahabatnya. Disamping itu, kang Nakib berusaha mengedukasi masyarakat yang berada dalam komunitas Zawiyah khususnya untuk tidak menghambur-hamburkan uang hanya untuk membuat rumah yang mewah. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa dengan membangun rumah yang sederhana, lebihan uangnya bisa dipakai untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, baik untuk modal usaha, untuk menabung atau untuk ibadah haji.

Zawiyah ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada intinya masyarakat yang datang ke zawiyah adalah masyarakat yang mau dibina, baik perilakunya, pemikirannya atau pola hidupnya yang masih belum terarah baik dari sudut pandang agama maupun ilmu pengetahuan. Sehingga masyarakat pada komunitas Zawiyah ini bisa dikategorikan sebagai masyarakat yang sederhana, suka menolong, taat beribadah, rajin bekerja dan siap jadi gerda terdepan untuk menciptakan perubahan-perubahan sesuai dengan tuntutan zaman.

Pemateri: H. Hasbiyallah, M.SiMateri Pertama: Pondok Pesantren Balerante

Pondok pesantren Al-Jauhariyah adalah pesantren tertua di Cirebon, Jawa Barat. Pada awalnya bernama, pesantren Balerante yang terletak di Balerante. Berdiri pada masa Sultan sepuh ke-5 Sultan Matangaji (Pangeran Syarifudin) Keraton Kasepuhan Cirebon pada abad ke-18 (1774-1784 M). Pesantren Al-Jauhariyah didirikan pada tahun 1779 M oleh Kyai Romli (Ki Buyut Romli) yang merupakan keturunan sultan Kasepuhan Cirebon.

Selanjutnya dipimpin oleh Kyai Abdul Majid sampai tahun 1897, dan digantikan oleh putranya Kyai Ilyas (Kyai Jauhar Arifin) hingga tahun 1941. Pada saat ini, Pesantren Balerante dikenal dengan nama Pondok Pesantren Al-Jauhariyah. Kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh putra pertama Kyai Jauhar bernama Kyai Ridwan Jauhar sampai tahun 1975, dan dilanjutkan oleh adiknya bernama Kyai Amin Jauhar hingga tahun 1982, dilanjutkan oleh adiknya bernama Husein Al-Hasbi (Kiyai Faqih Jauhar) hingga tahun 2001. Lalu dipimpin oleh putranya yang bernama Kyai Muhammad Faqih Jauhar hingga saat ini.

 

Materi Kedua: Karya KH. Jauhar dalam Kitab Sabil al-Huda tentang Shalat al-Mu’adah

Di antara ulama Nusantara yang pernah terlibat dalam dinamika ini adalah Syaikh Nawawi Banten (w. 1897), ulama besar Makkah asal Banten, juga Sayyid Usman b. Yahya (w. 1913), ulama sentral Betawi asal Hadhrami yang menjabat sebagai mufti Batavia, juga Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916), ulama besar Makkah asal Minangkabau dan juga imam serta khatib Masjidil Haram. Dinamika tersebut juga terjadi di wilayah Karesidenan Cirebon yang membawahi kabupaten-kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Dinamika ini terekam dalam kitab “Sabîl al-Hudâ” karya KH. Jauhar Balerante. Kyai Jauhar menulis:

(Seorang khatib di Cirebon telah menentang praktik salat zuhur berjamaah yang dilakukan bakda salat jumat yang mana praktik tersebut telah disepakati hukumnya oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah. Khatib itu pun melarang praktik itu di masjid yang dipimpinnya. Keputusan sang khatib itu pun menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat awam, juga menimbulkan perdebatan di kalangan ulama).

“Seorang khatib Cirebon” yang disebutkan oleh KH. Jauhar Balerante di atas tampaknya memiliki posisi dan pengaruh yang tidak kecil. Pasalnya, khatib tersebut membawa perkara ini hingga sampai ranah pengadilan dan residen Cirebon. Akibatnya, isu “shalat al-mu’âdah” ini pun kian memanas. Lebih jauh dari itu, para ulama dan umat Muslim Cirebon yang melakukan praktik “shalat al-mu’âdah” ini pun sampai diperkarakan dan bahkan dipenjara.

Selanjutnya Kyai Jauhar melanjutkan tulisannya sebagai berikut: (Seorang khatib di Cirebon ada mengadu kepada pihak pemerintah dan penghulu dan juga orang-orang awam penduduk wilayah Karesidenan Cirebon. Ia mengatakan kepada mereka, bahwa “shalat al-mu’âdâh” yang dilakukan oleh mayoritas pengikut mazhab Syafi’i, hukumnya adalah batil. Pihak pemerintah dan penghulu yang terhasut oleh ucapan seorang khatib tersebut kemudian mengancam akan menangkap dan memenjarakan mereka yang melakukan “shalat al-mu’âdâh”. Pihak pemerintah dan penghulu itu menyangka jika ucapan sang khatib itu adalah benar, berlandaskan dalil, dan masuk akal. Padahal, sebenarnya, justru sang khatib itu sedang berbohong, menghasut, dan berbuat kebodohan).

Materi Ketiga: Karya KH. Jauhar terkait dengan Toponimi

Ilmu toponimi adalah ilmu yang mengkaji seluk beluk nama sebuah tempat atau daerah, termasuk di dalamnya adalah nama jalan, desa, kota, sungai, gunung, laut, dan aspek permukaan bumi lainnya. Toponimi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “topo” (yang berarti tempat) dan “nim” (yang berarti nama).

Toponimi bukan semata-mata berhubungan dengan geografi, tetapi juga dengan ilmu linguistik (kebahasaan), kebudayaan, etnologi, sejarah, arkeologi, filologi (berkaitan dengan naskah kuno), paleografi (berkaitan dengan aksara dan bahasa kuno), hatta dengan politik dan tata negara. Toponimi merupakan penanda identitas dan warisan budaya suatu bangsa.

Beberapa negara, misalnya, dalam kasus menyepakati batas-batas antar wilayah teritorinya, seringkali merujuk pada sumber-sumber sejarah berupa manuskrip, arsip atau peta kuno yang di dalamnya memuat informasi tentang identitas wilayah tersebut (toponimi). Misalnya, dalam kasus “perang urat syaraf” antara Iran dan beberapa negara Arab Teluk terkait identitas dan teritori “kawasan perairan teluk”. Iran menamakan kawasan tersebut dengan “Teluk Persia” dan menganggapnya sebagai wilayah budaya dan teritori Iran, sementara negara-negara Arab menamakannya dengan “Teluk Arab” dan menganggapnya sebagai wilayah budaya dan teritori Arab.

Misal lainnya adalah kasus identitas tempat asal Syaikh Mahfuzh Tremas (w. 1920) dalam sumber-sumber berbahasa Arab. Di sumber-sumber tersebut, desa Tremas disebut sebagai bagian dari wilayah Solo (Jawa Tengah). Padahal, sekarang, Tremas adalah bagian dari wilayah Pacitan (Jawa Timur). Dalam kasus ini, beberapa peneliti Indonesia didapati tergesa-gesa menyalahkan keterangan dalam sumber tersebut. Padahal, jika ditinjau melalui ilmu toponimi, keterangan tersebut tidak salah, karena pada masa Syaikh Mahfuzh lahir, desa Tremas memang masuk wilayah Kasunanan Surakarta (Solo).

Informasi mengenai toponimi yang berkaitan dengan ruang lingkup wilayah Cirebon pada awal abad 20 juga terekam dalam kitab “Sabîl al-Hudâ”. Di sana KH. Jauhar menjelaskan beberapa kawasan di Cirebon berdasarkan batas-batas kultural dan administratif yang berlaku pada saat itu, yang mana sebagian dari batas-batas tersebut telah berubah pada saat ini seiring dengan perkembangan zaman. Di antara nama-nama kawasan yang disebutkan adalah Plered (الفلاريد), Megu (الماقوه), Weru (الوروه), Panembahan (الفنمبهان), Kaliandul (الكالي هندول), Setu (السيتوه), Trusmi (التروسمي), Palimanan (الفلمنان), Sumber (السمبر), Tegalgubug (التقلقوبوق), Karangsembung (الكارنسمبون), Winong (الوينوع), Kempek (الكمفيك), Plumbon (الفلومبون), Tangkil (التنكيل), Pagagan (الفققان), Mertapada (المرتفدا), Buntet (البونتت), Balerante (البليرانتي) dan lain-lain.

 

Materi Keempat: Silsilah Sanad Keilmuan KH. Jauhar

Hal penting lainnya yang ditulis oleh KH. Jauhar Balerante dalam kitabnya ini adalah silsilah dan sanad keilmuan beliau (hal. 100–105). Di sana disebutkan guru utama beliau adalah Syaikh Muhammad Amîn b. Ridhwân al-Madanî (w. 1329 H/1911 M), seorang ulama sentral dunia Islam yang berkedudukan di Madinah. Syaikh Muhammad Amîn Ridhwân al-Madanî juga tercatat sebagai salah satu guru utama dari Syaikh Mukhtar Bogor (w. 1930 M), seorang mahaguru ulama Nusantara di Makkah.

Saat mengembangkan Pesantren Balerante, KH. Jauhar juga didampingi oleh seniornya saat berada di Makkah, yaitu Syaikh Masduqi Majalengka (w. 1935). Nama terakhir terekam dalam catatan kantor konsul Belanda di Jeddah per-tahun 1914/1915 (Bedevaart Verslag 1914/1915) sebagai salah satu ulama Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram. Catatan tersebut dirujuk oleh J. Vredenbregt dalam artikelnya yang berjudul “The Haddj: Some of its Features and Functions in Indonesia” dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 118 (1962), no: 1, Leiden, 91-154; juga oleh M. Saleh Putuhena dalam buku “Historiografi Haji Indonesia” (2007).

Dalam catatan tersebut, Syaikh Masduqi Majalengka disebut sebagai salah satu ulama yang mengajar di Masjidil Haram, berusia 50 tahun (berarti beliau lahir sekitar tahun 1865), lamanya bermukim di Makkah adalah 25 tahun (berarti mulai bermukim di Makkah sejak tahun 1890).

Syaikh Masduqi adalah putra dari Kiyai Ismail Kedungbuni, Kadipaten (Majalengka). Syaikh Masduqi juga memiliki seorang putra, yaitu Kiai Abbas yang wafat di Makkah. Kiai Abbas memiliki seorang putra bernama Bapak Haji Humaidi yang saat ini bermukim di Karangsembung, Kadipaten (Majalengka). Bapak Haji Humaidi punya menantu Ustaz Abdul Majid. Syaikh Masduqi juga memiliki menantu, yaitu Syaikh Badruzzaman dari pesantren al-Falah Biru, Tarogong (Garut). Syaikh Badruzzaman (1900–1972 M) terhitung sebagai salah satu ulama besar Jawa Barat pada pertengahan abad 20 sekaligus mursyid Tarekat Tijaniyah.

Materi Kelima: Perkembangan Pesantren Balerante: PP Darussalamah

Pondok Pesantren Darussalamah Balerante Palimanan Cirebon adalah salah satu lembaga di bawah naungan Yayasan Perguruan Islam Darussalamah yang didirikan oleh KH. Abdullah Jauhar serta Ibu Nyai Salamah padatahun 1985. Dan dari tahun 1994 sampai dengan sekarang, estafet kepengasuhan diemban oleh KH. Zaenal Arifin Tahmid bersama Nyai Hj. Iis Aisyah. Pondok Pesantren Darussalamah merupakan salah satu pesantren yang mengintegrasikan pendidikan salaf dan formal dengan lingkungan yang sangat kondusif untuk mempelajari dan menghafal al-Qur’an.

Pondok Pesantren Darussalamah yang berdiri pada tahun 1985. Memiliki sejarah yang unik, dimana nama Darussalamah ini diambil dari dua suku kata, yaitu “Dar” dan “Salamah”. “Dar” berarti Rumah, dan “Salamah” berarti Salamah. Yaitu nama seorang istri K. Abdullah Jauhar. Jadi Darussalamah berarti Rumah Ibu Salamah. Nama ini diberikan oleh KH. Ali Fahmi Syarief, BA (salah satu pendiri), sebagai upaya mewujudkan cita-citanya, untuk memiliki banyak anak, karena pada saat itu Ibu Salamah (istrinya K. Abdullah Jauhar) tidak memiliki anak. Kata Darussalamah tidak dinisbatkan kepada suatu nama surga, yaitu surga Darussalam.

Awal pendirian Pondok Pesantren Darussalamah, termotifasi oleh sebuah pemikiran cerdas KH. Ali Fahmi Syarief, BA, yang berorientasi pada sikap antisifatif dalam menghadapi sebuah sosiokultural pada saat itu, yang terkesan epigon, jumud dan tidak dinamis.
Selanjutnya, Pondok Pesantren Darussalamah secara objektif, bisa dikatakan sebagai sebuah entitas, yang tidak seharusnya diingkari dan dinodai eksistensinya.

Yang secara distingtif justru memberikan warna dan model tersendiri bagi Podok Pesentren Darusslamah Khususnya, dan Pondok Pesantren Balerante umumnya. Karena ternyata Pondok Pesantren Darussalamah sendiri mampu memberikan penyesuaian dengan konteks masyarakat setempat. Dengan Fleksibelitasnya, bisa dibuktikan dengan adanya nuansa-nuansa baru.

Materi Keenam: Pondok Pesantren Nurul Hidayah Balerante

Pondok Pesantren Nurul Hidayah diperkirakan telah ada semenjak 300 tahun yang lalu sekitar tahun 1734. Seorang keturunan bangsawan bernama Kyai Ramli pertama kali datang ke Balerante Cirebon. Di daerah ini beliau membangun sebuah pesantren yang sangat sederhana di atas tanah seluas 4 ha. Menurut pimpinan pesantren saat ini yaitu KH. Khalil Makki, semenjak Kyai Ramli, kepemimpinan pesantren telah mengalami pergantian sebanyak 6 kali. Generasi keenam yaitu KH. Chalil yang memimpin sejak 1917. Beliau memperluas bangunan pesantren ke arah timur sebanyak 2 ha sehingga total luas pesantren sekitar 8 ha. Usaha Kyai Chalil tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan PP Nurul Hidayah dan sekaligus ditetapkan menjadi tahun berdirinya pesantren ini (1917).

Kyai Chalil wafat pada tahun 1955, beliau digantikan oleh putranya Kyai Ramli Chalil. Selanjutnya Kyai Ramli Chalil wafat pada tahun 1997. Kepemimpinan pesantren selanjutnya digantikan oleh putranya yaitu Kyai Khalili Makki.

Sejak Kyai Khalili Makki  menjadi pemimpin pesantren Nurul Hidayah, dapat dikatakan pesantren ini berjalan dengan sangat baik. Hal ini tentu saja berkat keilmuan yang dimiliki oleh Kyai Khalili itu sendiri yang merupakan alumni dari Yaman. Selain itu juga berkat bantuan Ibundanya yaitu Dra. Hj. Ipah Uripah. Beliau adalah sosok ibu yang mempunyai kreatifitas yang tinggi, bijaksana, memiliki kemampuan managerial yang mumpuni dan merupakan figur teladan bagi masyarakat sekitarnya maupun bagi orang yang mengenalinya.

 

Pemateri: Gumilar Irfanullah, M.Si

Materi Pertama: Biografi Khadijah al-Kubra

Khadijah binti Khuwailid atau yang dikenal dengan al-Kubra dan Ummul Mukminin adalah istri pertama Nabi Muhammad SAW dan ibu Sayyidah Zahra. Ia menikah dengan Nabi Saw sebelum Bi’tsah dan wanita pertama yang beriman kepadanya.

Khadijah mengeluarkan semua kekayaannya untuk penyebaran Islam. Nabi Saw demi menghormati Khadijah tidak menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup. Dan setelah ia wafat, Nabi Saw senantiasa mengenangnya dengan kebaikan.

Nabi saw dari pernikahannya dengan Khadijah sa memiliki dua anak laki-laki bernama Qasim dan Abdullah dan anak perempuan bernama Sayyidah Fatimah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum.

Khadijah sa meninggal di Mekah tiga tahun sebelum Hijrah pada usia 65 tahun. Nabi saw menguburkan tubuh Khadijah di pemakaman al-Ma’la.

Khadijah sa lahir dari seorang ayah bernama Khuwailid bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushai, dari keluarga Quraisy dan dari seorang ibu bernama Fatimah binti Zaidah. Ia lahir di Mekah sekitar tiga atau empat dekade sebelum Nabi Islam saw diutus menjadi nabi (bi’tsah) dan di kota yang sama, di rumah ayahnya, ia tumbuh besar.

Mengenai pernikahan Khadijah terdapat perbedaan antara Syiah dan Sunni. Sunni percaya bahwa sebelum menikah dengan Nabi saw, Khadijah sa sudah pernah menikah dua kali dan ia mempunyai anak dari masing-masing pernikahannya. Sebagian besar dari sumber sejarah Sunni menerima perihal pernikahan Khadijah ini dan mengutip nama suami serta anak-anak mereka.
Sebaliknya, ulama Syiah meragukan pernikahan-pernikahan yang pernah dilakukan oleh Khadijah. Setelah meneliti dan membahasnya lebih cermat, mereka percaya bahwa Sayidah Khadijah belum pernah menikah, dan pernikahan pertamanya adalah pernikahan yang dilakukan dengan Nabi saw. Bukti dan alasan yang mungkin bisa diungkapkan bahwa Khadijah tidak pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw, adalah sebagai berikut:

Ibnu Syahrasyub mengutip perkataan Sayid Murtadha dalam kitab al-Syāfi dan Syaikh Thusi dalam al-Talkhish yang menegaskan tentang keperawanan Khadijah sa ketika menikah dengan Nabi saw (dalam istilah Arab dikenal dengan ‘Adzra). Syaikh Thusi meyakini bahwa Ruqayyah dan Zainab adalah anak-anaknya Halah, saudara perempuan Khadijah sa. Sepertinya hal tersebut benar, karena sumber-sumber sejarah tidak menyebutkan bahwa Ruqayyah dan Zainab adalah nama anak-anak Khadijah sa dari pernikahan sebelumnya, akan tetapi keduanya adalah nama anak-anak yang lahir dari pernikahan Khadijah sa dengan Nabi Muhammad saw.

Posisi yang sangat baik dan kedudukan unggul Sayidah Khadijah dan penolakan atas para pelamar yang datang untuk meminangnya dari keluarga bangsawan dan para pembesar Quraisy, juga merupakan bukti lain bahwa Khadijah tidak pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi. Bagaimana bisa diterima, dalam situasi dan fanatisme kabilah pada lingkup intelektual dan budaya yang berlaku di Hijaz begitu besar dan berkuasa -dimana Khadijah adalah salah satu pembesar suku Quraisy yang terkenal- kemudian menikah dengan dua orang Arab dari suku Tamim dan Makhzum?

Bukti lain yang bisa membuktikan bahwa Khadijah sa belum pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi Saw adalah dua orang anak yang dinisbahkan kepada Khadijah dari Nabi Saw. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua orang anak tersebut bukan anak keturunan Khadijah, akan tetapi anak keturunan saudara perempuannya, yaitu Halah. Halah pertama kali menikah dengan seseorang dari suku Makhzum dan melahirkan anak. Sepeninggal suami Halah, Khadijah menjadi pelindung bagi Halah dan kedua anaknya sampai Halah meninggal dunia. Khadijah sa pun mengasuh kedua keponakannya. Karena sudah menjadi tradisi bagi bangsa Arab, bahwa Rabibah (anak-anak bawaan dari pasangan) dianggap sebagai anak sendiri, akhirnya mereka juga dianggap sebagai anak-anak Nabi saw.

Seluruh sumber menyatakan bahwa Khadijah sa adalah istri pertama Nabi Muhammad saw, dan sebagian besarnya menyebutkan bahwa Nabi saw berusia 25 tahun ketika menikah dengan Khadijah sa. Mengenai usia Khadijah sa saat menikah dengan Nabi saw tidak ada kesamaan pendapat. Terdapat banyak perbedaan pendapat yang dilontarkan oleh para sejarawan, dari 25 sampai 46 tahun. Banyak sumber yang meyakini bahwa Khadijah sa berusia 40 tahun ketika menikah dengan Nabi saw. Dengan menukil dari yang lainnya, Mas’udi juga memberikan kemungkinan selain usia yang telah disebutkan. Beberapa sumber mengatakan bahwa Khadijah menikah dengan Nabi saw pada usia 25 tahun, dan sebagiannya meyakini berusia 28 tahun.

Penelitian yang dilakukan untuk menentukan usia Khadijah sa yang tepat ketika melangsungkan pernikahan dengan Nabi Saw ini sedikit sulit. Namun mengingat bahwa kehidupan berkeluarga Khadijah sa dengan Nabi hanya 25 tahun lamanya –15 tahun sebelum Nabi saw diutus  dan 10 tahun setelah Nabi diutus– dan menurut beberapa sumber sejarah juga dikatakan bahwa saat wafat Khadijah berusia 65 tahun atau menurut Baihaqi berusia 50 tahun, dengan demikian maka kemungkinan besar usia Khadijah sa saat menikah dengan Nabi Muhammad saw sesuai dengan salah satu dari dua pendapat yaitu 40 atau 25 tahun. Jika Khadijah ketika wafat berusia 50 tahun, maka saat menikah berusia 25 tahun. Pendapat ini yang lebih diterima oleh sebagian peneliti.

Namun karena pendapat ini sumbernya tidak banyak, untuk membuktikannya agak sulit diterima. Tapi, mengingat bahwa Qasim putra Nabi Muhammad saw dari Khadijah sa meninggal dunia setelah Nabi diutus,  hal ini berarti bahwa Qasim setidaknya dilahirkan pada saat Khadijah minimal berusia 55 tahun atau beberapa waktu setelah itu, dan kemungkinan seperti ini tidak dapat diterima. Hal ini bisa dikuatkan dengan menambahkan pendapat beberapa ulama Syiah yang meyakini bahwa Khadijah masih perawan saat melangsungkan pernikahan dengan nabi. Karena tidak mungkin seorang wanita seperti Khadijah yang terhormat dengan status dan kekayaan yang dimilikinya, juga termasuk pembesar kaum Quraisy, belum menikah sampai umur 40 tahun. Oleh karena itu, usia Khadijah sa ketika menikah seharusnya tidak lebih dari 25 atau 28 tahun.

 

Materi Kedua: Kedudukan Khadijah sa di Sisi Nabi saw

 

Khadijah sa memainkan peran penting dalam kehidupan Nabi Saw. Terdapat sejumlah laporan yang membuktikan tentang keistimewaan posisinya di sisi Nabi saw. Sampai beberapa tahun setelah kematian Khadijah, Nabi Saw selalu mengingat dan mengenangnya kembali dan menyampaikan kekhususan yang dimiliki Khadijah. Ketika dikatakan kepada Nabi bahwa Khadijah tidak lebih dari seorang istri yang sudah tua, Nabi saw pun terlihat sedih dan sangat tidak nyaman. Dengan menolak perkataan tersebut Nabi menyatakan, “Allah tidak pernah menggantikan untukku seorang istri yang lebih baik darinya, karena ia telah membenarkanku di saat orang-orang mengingkariku. Ia telah membantu dan menolongku ketika tidak ada seorangpun yang membantu dan menolongku. Ia memberikan hartanya kepadaku, pada saat semua orang enggan untuk memberikan hartanya kepadaku.”

Khadijah sa setelah menikah dengan Nabi saw merupakan sebaik-baiknya istri bagi Nabi Saw. Ia melakukan tugasnya sebagai seorang istri Nabi saw dengan penuh ketulusan dan kecintaan. Ia membawa ketenangan dalam keluarga seperti yang dicari oleh setiap pasangan dalam hidup mereka. Semua itu dipersembahkannya untuk Nabi Saw, dan hal itu dilakukannya dengan tanpa tujuan apapun kecuali mendapatkan ridha Allah swt semata. Oleh sebab itu, selama hidup Khadijah, Nabi Saw tidak menikah lagi dan tidak mengambil istri selainnya. Dan uraian-uraian yang menyatakan bahwa Khadijah memiliki kedudukan khusus di sisi Nabi Saw, mungkin gambaran yang paling diterima tentang Khadijah adalah seperti beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Khadijah adalah sebaik-baiknya teman, sejujur-jujurnya pendamping, tempat keluh kesah dan pembawa ketentraman bagi Nabi saw.

Khadijah sa benar-benar seorang wanita bijaksana dan terhormat. Ibnu Jauzi menulis tentangnya, “Khadijah sa adalah wanita yang berilmu dan memiliki kepribadian yang bersih dan ia adalah seorang insan spiritual yang terpesona dengan hak asasi manusia, mencari keutamaan, menyukai inovasi, senang dengan keunggulan, kesempurnaan dan kemajuan adalah termasuk dari sifat-sifatnya. Sejak masa mudanya ia merupakan salah seorang perempuan yang berbudi luhur, ternama dan memiliki keutamaan yang terkenal di Hijaz dan Arab.”

Yang lebih penting dari kedudukan materinya adalah harta kekayaan spiritualnya yang tidak ada habisnya. Dengan menolak permintaan para pejabat dan pembesar Quraisy yang datang untuk menikah dengannya dan memilih Nabi Muhammad saw sebagai suaminya, ia telah menyempurnakan kenikmatan atas kekayaan materi dengan jaminan kebahagiaan di akhirat dan kenikmatan kekal di surga. Ia telah menampakkan kecerdasannya kepada semua orang. Untuk mencapai kenikmatan yang berkah ini, ia telah menjadi seorang muslim pertama. Ia adalah orang pertama yang membenarkan ajaran Nabi dan mendirikan salat pertama bersama Nabi Muhammad saw.

Menurut sumber-sumber, Khadijah sa sebagai orang pertama yang masuk Islam diyakini sebagai hal yang sudah diterima dan diketahui. Bukti-bukti menyatakan bahwa Khadijah sa diyakini sebagai orang pertama yang mengenal Islam. [19] Bahkan beberapa pendapat menyatakan bahwa ini memiliki komitmen tinggi. bnu Abdul Bar meyakini bahwa Ali as adalah orang pertama yang menyatakan keimanannya kepada Nabi saw setelah Khadijah sa.

Memperhatikan sumber-sumber lain yang menyebutkan orang-orang pertama yang memeluk Islam, diketahui Khadijah sa dan Ali as adalah terhitung sebagai orang pertama yang menyatakan beriman kepada Allah swt.  Begitu pula telah diisyaratkan tentang keterdahuluan Khadijah sa dan Ali as dalam mendirikan salat bersama Nabi Muhammad saw. Mereka dikenal sebagai orang muslim pertama di dunia yang mendirikan salat.

 

Materi Ketiga: Peran Khadijah sa dalam Memajukan Islam

 

Khadijah sa menerima Islam dan iman atas kenabian Muhammad saw yang dipadukan dengan amalnya dan menjadi sebuah manifestasi hadis mulia menyebutkan bahwa iman adalah keyakinan hati yang diucapkan dengan lisan dan beramal dengan rukun-rukunnya.  Dengan demikian, Khadijah sa yang mengamalkan perintah-perintah Alquran dan menghibahkan hartanya dalam penyebaran Islam dan membantu kaum muslimin, telah menutup matanya dari seluruh harta dan kekayaannya untuk tujuan suci Nabi Muhammad saw. Ia memiliki peran yang sangat menentukan dalam kemajuan Islam. Sulaiman Kitani berkeyakinan bahwa Khadijah telah memberikan kekayaannya kepada Muhammad saw, tapi tidak pernah memiliki perasaan telah memberikan hartanya. Bahkan ia merasa bahwa itu semua dari Muhammad saw. Ia mendapatkan petunjuk dan hidayah yang memiliki keunggulan dan bernilai melebihi seluruh kekayaan alam. Ia merasa telah memberikan hadiah kecintaan dan pertemanan kepada Muhammad saw, dimana sebagai gantinya ia mendapatkan seluruh dimensi kebahagiaan darinya.

Khadijah sa seorang penolong dan teman bagi Nabi saw. Ia memiliki peran yang tidak ada bandingnya dalam penyebaran Islam dan memajukan misi Nabi saw dengan menjadi orang pemula dalam memeluk Islam dan melindungi Nabi Muhammad saw dalam segala aspek dan menghibahkan seluruh kekayaannya di jalan Islam dan perlindungan terhadap orang-orang tertindas. Ia teladan yang tepat dalam kejujuran, keuletan, konsisten dalam target dan melindungi orang-orang tertindas. Ia sebuah bukti obyektif dalam infak dan pemberian di jalan kebenaran. Inilah keistimewaan-keistimewaan yang tampak dari sebuah kepribadian. Oleh karena itu, sangat pantas dan layak jika ia menyandang gelar “Thahirah” (suci), “Shiddiqah” (jujur), “Sayidah Nisa Quraisy” (penghulu wanita Quraisy), “Khairu al-Nisa” (sebaik-baik wanita) dan “Ummul Mukminin” (ibu kaum mukminin).

 

Materi Keempat: Wafatnya Sayyidah Khadijah

 

Sejumlah sumber menyebutkan bahwa Khadijah sa wafat pada tahun kesepuluh kenabian, yaitu 3 tahun sebelum hijrah Nabi saw dari Mekah ke Madinah. Sebagian besar sumber menyebutkan bahwa Khadijah wafat berusia 65 tahun. Ibnu Abdulbar menyebutkan bahwa Khadijah sa ketika wafat berusia 64 tahun 6 bulan. Sumber lainnya mengatakan, tahun kematian Khadijah sama dengan tahun kematian Abu Thalib atau lebih sedikit dari itu.  Ibnu Sa’ad berkata, “Khadijah wafat 35 hari setelah Abu Thalib Wafat.” Ia dan sebagian sejarawan meyakini kematian wanita Hijaz ini tepatnya adalah pada bulan suci Ramadhan tahun kesepuluh Kenabian.  Sebelumnya, Nabi saw mengkafani Khadijah sa dengan kain sorbannya, namun kemudian diganti kain surga. Ia dikebumikan di Pemakaman al-Ma’lat, di lereng gunung Hajun di bagian atas kota Mekah.

 

Materi Kelima: Biografi Fatimah Az-Zahra

 

Fatimah sa (bahasa Arab:فاطمة سلام الله عليها) yang terkenal dengan Fatimah az-Zahra adalah putri Nabi Muhammad saw dari Khadijah al-Kubra sa dan istri Imam Ali as serta salah seorang dari lima orang yang termasuk dalam Ashabul Kisa’. Muslimin juga meyakini bahwa Fathimah adalah Wanita suci bahkan Nabi saw menyebutnya sebagai Pemimpin para wanita dari Hawa hingga akhir zaman. Sebagian Muslimin menempatkan Fathimah sebagai salah seorang dari Empat Belas Manusia Suci. Imam Kedua dan Imam Ketiga Syiah serta Zainab sa adalah anak-anaknya. Al-Zahra, al-Batul dan Sayidatu Nisa al-Alamin (penghulu kaum wanita di semesta alam) termasuk dari julukannya. Dan Ummu Abiha (ibu dari ayahnya) termasuk dari gelarnya. Fatimah sa, satu-satunya perempuan yang hadir bersama Rasulullah saw pada hari Mubahalah di hadapan kaum kristen Najran.

Fathimah as adalah wanita byang memiliki keteguhan dalam keyakinannya. Beliau percaya bahwa Ali adalah pewaris sah dari khilafah Rasulullah. kerena itu sepanjang hidupnya melakukan pembelaan terhadap kekhalifahan Imam Ali as, ia menyampaikan sebuah Khotbah yang dikenal dengan Khotbah Fadakiyah, yang secara tegas menjelaskan kedudukan khusus Ahlulbait Nabi dan hak-haknya. Tak lama setelah Nabi saw wafat beliau menuai cawan syahadah pada 3 Jumadil Akhir tahun 11 H/632 M di Madinah. Jasad suci Fatimah sa atas wasiatnya sendiri dimakamkan di malam hari secara sembunyi-sembunyi dan kuburannya sampai sekarang tidak pernah terungkap.

Surah Al-Kautsar, Ayat Tathir, Ayat Mawaddah dan Ayat Ith’am serta sejumlah hadis seperti Hadis Bidh’ah dan Hadis Laulaka semuanya berkisar mengenai keutamaan yang dimiliki Sayidah Fatimah sa.

Dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi saw memperkenalkan Fatimah sa sebagai sebaik-baik wanita di dua alam dan diyakini bahwa kemurkaan dan keridhaannya adalah kemurkaan dan keridhaan Allah.

Tasbih Fatimah Zahra sa adalah bacaan tasbih yang telah diajarkan Nabi Muhammad saw kepada putrinya tersebut, demikian pula Mushaf Fatimah adalah kitab yang memuat perkataan-perkataan Malaikat utusan Allah yang diilhamkan kepada Sayidah Fatimah sa dan ditulis oleh Imam Ali as. Mushaf tersebut berada di tangan Imam-Imam maksum as secara bergiliran dan sekarang berada di tangan Imam al-Mahdi as.

Umat Islam Syiah menjadikan Sayidah Fatimah sa sebagai tokoh teladan dan mereka mengadakan majelis-majelis duka pada peringatan haul kesyahidannya yang dikenal dengan Ayyam Fatimiyah (hari-hari Fatimiyah).

Menurut kesepakatan para ahli sejarah, Fatimah sa dilahirkan di Mekah di rumah Khadijah sa di gang Attharin dan gang al-Hajar di dekat tempat sa’i.

Kelahiran dan Masa Kanak-kanak

Menurut pandangan yang masyhur di kalangan Syiah, Sayidah Fatimah sa lahir pada tahun ke-5 Bi’tsah yang terkenal dengan Tahun Ahqafiyah (tahun turunnya Surah Al-Ahqaf). Sementara Syaikh al-Mufid dan al-Kaf’ami meyakini bahwa tahun ke-2 Bi’tsah sebagai tahun kelahiran Sayidah Fatimah. Tapi, pendapat yang populer di antara ulama Ahlusunah menyebutkan bahwa Sayidah Fatimah lahir lima tahun sebelum Bi’tsah. Berdasarkan sumber-sumber sejarah Syiah, beliau lahir pada tanggal 20 Jumadil Akhir.

Kurangnya laporan sejarah yang mendetail tentang masa kanak-kanak dan remaja Fatimah sa membuat sulit untuk mengenal kehidupannya. Berdasarkan laporan-laporan sejarah, setelah dakwah Nabi saw dimulai secara terang-terangan, Fatimah sa menyaksikan beberapa kekerasan-kekerasan orang-orang musyrik kepada ayahandanya. Selain itu, tiga tahun dari masa kanak-kanak Fatimah sa dilalui di dalam Syi’ib Abi Thalib di bawah tekanan-tekanan ekonomi dan sosial kaum musyrikin terhadap Bani Hasyim dan para pengikut Nabi saw.

Pada masa kanak-kanak, Fatimah sa juga mengalami kehilangan ibunya Khadijah dan Abu Thalib (paman yang berperan sebagai pelindung utama ayahnya).

Beberapa peristiwa penting lainnya yang terjadi selama kanak-kanaknya Sayidah Zahra sa termasuk Keputusan Quraisy untuk membunuh ayahandanya Nabi saw sehingga menyebabkan beliau keluar di malam hari dari Mekah dan hijrah ke Madinah, dan akhirnya Fatimah sa pun turut ke Madinah bersama Ali as dan sebagian wanita.

 

Materi Keenam: Masa Pernikahan Fatimah Az-Zahra

 

Banyak orang yang melamar Sayidah Fatimah az-Zahra, tetapi pada akhirnya beliau menikah dengan Imam Ali as. Setelah pemerintahan Islam dibentuk atas pimpinan Nabi saw di Madinah, Fatimah sa mendapatkan penghormatan dan kedudukan istimewa di kalangan kaum Muslimin. Selain itu, segala kecintaan Nabi Muhammad saw tercurah pada Fatimah sa. Dan karakteristiknya dibanding kaum wanita pada zamannya, menarik simpati sebagian kaum muslimin untuk menikah dengan putri Nabi saw. Banyak kalangan dari pembesar Quraisy yang lebih dahulu memeluk Islam dibanding orang lain atau mempunyai kekuatan finansial yang baik mencoba meminang Fatimah sa.Imam Ali as, Abu Bakar, Umar dan Abdurrahman bin Auf termasuk diantara orang-orang yang meminang Fatimah sa. Semua peminang selain Ali as ditolak oleh Nabi saw. Nabi saw dalam menjawab mereka berkata:

“Pernikahan Fatimah adalah urusan langit dan membutuhkan keputusan dan hukum Tuhan”.

Karena Ali as memiliki hubungan keluarga dengan Nabi saw dan menyaksikan dari dekat karakteristik akhlak dan agama Fatimah sa, maka ia sangat mendambakan dapat menikah dengan Fatimah. Namun, ahli sejarah menuturkan bahwa Ali as tidak memperkenankan dirinya untuk meminang putri Nabi saw. Sa’ad bin Mu’adz menyampaikan masalah ini pada Nabi saw dan ia menyetujui lamaran Ali as serta menjelaskan keinginan Ali as, ciri-ciri perilaku dan keutamaannya kepada Fatimah sa yang disambut dengan senang hati olehnya.

Ali as sebagaimana Muhajirin Madinah yang lain, pada bulan-bulan awal setelah hijrah tidak memiliki kondisi ekonomi yang baik dan menghadapi kesulitan untuk membayar mas kawin yang telah disepakati . Oleh karenanya, atas saran dan nasehat Nabi saw, ia menjual atau mengadaikan baju perangnya untuk mahar Sayidah Fatimah. Acara akad pernikahan Ali as dan Fatimah sa dilangsungkan di masjid dan dihadiri oleh kaum muslimin. Terkait tahun acara akad nikahnya terdapat perbedaan pendapat. Mayoritas sumber menyebutkan tahun ke-2 H/623M. Resepsi pernikahannya diselenggarakan setelah Perang Badar pada bulan Syawal atau Dzulhijjah tahun ke-2 H/623.

Hidup Bersama Ali

Dalam berbagai keterangan sejarah dan riwayat disebutkan bahwa Fatimah sa sangat mencintai Ali as dalam kondisi apapun, bahkan menyatakan di depan Nabi saw bahwa Ali as adalah sebaik-sebaik teman dan suami. Penghormatan kepada Imam Ali as juga menunjukkan keagungan karakteristik Sayidah Fatimah sa. Disebutkan bahwa Sayidah Fatimah sa memanggil Imam Ali as di dalam rumah dengan kata cinta dan di tengah-tengah masyarakat dengan panggilan Abal Hasan. Dalam beberapa catatan dimuat bahwa Fatimah sa di dalam rumah memakai wewangian dan perhiasannya untuk Imam Ali as dan terkadang menginfakkan kalung dan anting perhiasannya (kepada orang yang membutuhkan).

Periode awal kehidupan Fatimah sa dan Ali as disertai dengan kesulitan ekonomi hingga terkadang mereka tidak mendapatkan makanan yang dapat mengenyangkan Hasan dan Husain.  Namun demikian, Fatimah sa tidak protes atas kondisi yang ada dan bahkan untuk membantu suaminya dalam mencari nafkah, beliau memintal wol.

Fatimah sa menginginkan pekerjaan-pekerjaan rumahnya dia lakukan sendiri dan menyerahkan pekerjaan luar rumah kepada Ali as. Ketika Rasulullah saw mengutus seorang pembantu bernama Fiddhah ke rumah Fatimah sa dan pekerjaan yang ada dalam rumah tidak dibebankan seluruhnya kepada Fiddhah, akan tetapi separuh pekerjaan rumah dia lakukan sendiri dan separuhnya lagi dia serahkan kepada Fiddhah. Berdasarkan sebagian laporan, atas saran Fatimah sa, satu hari Fiddhah bekerja di rumah dan di hari lain Fatimah sendiri yang membereskan pekerjaan rumah. Literatur Syiah dan Ahlusunah sepakat bahwa Imam Hasan, Imam Husain, Zainab dan Ummu Kultsum adalah empat putra-putri Fatimah sa dan Ali as

Peristiwa di Akhir Kehidupan

Beberapa bulan di akhir kehidupan Fatimah as terjadi peristiwa yang menyakitkannya. Para sejarawan menyebutkan bahwa pada masa-masa ini tak seorang pun menyaksikan bahwa dia pernah tersenyum pasca meninggalnya Ayahanda Rasulullah. Setelah kejadian ini, Fatimah sa terbaring sakit dan tak lama setelah itu, ia mereguk cawan syahadah.

Pemateri: Varidlo Fuad, M.Pd

Materi Pertama: Pengertian Moderasi Beragama

Moderasi beragama secara bahasa terdiri dari dua kata mederasi dan beragama.

Kata moderasi berasal dari bahasa Latin Moderatio, yang berarti “moderat” (tidak terlalu banyak dan tidak kurang). Kata itu juga berarti pengendalian diri (dari sikap untung dan rugi yang besar). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan dua arti dari kata moderasi, yaitu: mengurangi kekerasan dan menghindari ekstrem.

Jika dikatakan “orangnya moderat”, itu berarti orang tersebut bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim. Dalam bahasa Inggris, kata moderasi sering digunakan dalam arti rata-rata, inti, standar, atau tidak rata. Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan karakter, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan lembaga negara.

Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan wasath atau wasathiyah yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (seimbang). Wasith adalah sebutan untuk orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasit. Dalam bahasa Arab pun, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apapun kata yang digunakan, semuanya menyiratkan makna yang sama, yaitu keadilan, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi tengah di antara berbagai opsi ekstrem.

Materi Kedua:Pengertian Moderasi secara Istilah

Pertama, moderasi adalah sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem dan tidak radikal (tatharruf). Berdasar dalam QS. al-Baqarah: 143 yang merujuk pengertian bahwa moderasi di sini menjelaskan keunggulan umat Islam dibandingkan umat lain. Dalam hal apa saja? Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan manusia akan sisi spiritualitas atau tuntutan batin akan kehadiran Tuhan, juga mehyeimbangkan tuntutan manusia akan kebutuhan materi.

 

 

Disebutkan dalam hadits, ada sekelompok orang mendatangi Nabi Muhammad untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang kuat beribadah, sampai tidak menikah. Nabi menjawab, yang benar adalah keseimbangan antara ibadah dan pemenuhan materi. Itulah sunnah beliau.

Dalam hal moral, al-Qur’an juga mengajarkan hal keseimbangan, seperti menekankan sikap tidak berlebihan. Seseorang tidak perlu terlalu dermawan dengan menyedekahkan hartanya sehingga dia sendiri menjadi bangkrut dan tidak punya apa-apa. Tetapi, ia juga jangan kikir dan terlalu pelit, sehingga hanya menjadi kaya sendiri, karena dalam harta yang kita miliki terdapat harta bagi orang yang membutuhkan. Demikian, pesan yang tersampaikan dalam ayat al-Qur’an.

Kedua, moderasi adalah sinergi antara keadilan dan kebaikan. Inti pesan ini diambil dari penjelasan para penafsir al-Qur’an terhadap ungkapan ummatan wasathan. Menurut mereka, maksud ungkapan ini adalah bahwa umat Islam adalah orang-orang yang mampu berlaku adil dan merupakan orang yang berperilaku baik.

Beragama itu menebar kedamaian, menebar kasih sayang, kapanpun dimanapun dan kepada siapapun. Beragama itu bukan untuk menyeragamkan keberagaman, tetapi untuk memahami berbagai keberagaman dengan penuh kearifan. Agama hadir ditengah-tengah kita agar harkat, derajat dan martabat kemanusiaan kita senantiasa terjamin dan terlindungi. Oleh karena itu, jangan gunakan agama sebagai alat untuk menegasi dan saling merendahkan dan meniadakan satu dengan yang lain

Jadi Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.

Materi Ketiga: 7 Prinsip dan Karakteristik Moderasi Beragama

Prinsip dan karaterristik moderasi beragama dapa di lihat dalam uraian berikut sebagai berikut:

  1. Tawassuth

Tawassuth adalah sikap netral berdasarkan prinsip hidup yang menjunjung tinggi nilai keadilan di tengah hidup bersama, baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Sikap ini disebut juga dengan sikap moderat (al-wasathiyyah). Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa tawassuth/moderat berasal dari kata wasath yang artinya adil, baik, sedang, dan seimbang. Artinya, seorang muslim yang mengamalkan tawassuth akan menempatkan dirinya di tengah-tengah suatu perkara, baik ekstrim kanan maupun kiri. Mengutip buku Moderasi Islam Nusantara oleh H. Mohamad Hasan, M.Ag., terdapat lima alasan mengapa sikap tawassuth dianjurkan ada pada diri seorang Muslim, yaitu:

  1. Sikap tawassuth dianggap sebagai jalan tengah dalam menyelesaikan masalah, sehingga seorang muslim selalu memandang tawassuth sebagai sikap yang paling adil dalam memahami agama.
  2. Hakikat ajaran Islam adalah cinta kasih, maka seorang muslim yang tawassuth selalu mengutamakan perdamaian dan menghindari konflik.
  3. Ajaran Islam mendorong demokrasi untuk dijadikan alternatif dalam mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga umat Islam yang tawassuth selalu mengutamakan nilai kemanusiaan dan demokrasi.
  4. Islam melarang tindakan diskriminasi terhadap individu atau kelompok. Maka sudah sepatutnya seorang muslim yang mengamalkan tawassuth untuk selalu menjunjung tinggi kesetaraan.

Dari kelima alasan tersebut, seorang muslim seharusnya sudah memahami pentingnya sikap tawassuth dalam hidupnya. Tawassuth cocok diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di antara manusia. Apalagi di era sekarang ini yang penuh dengan masalah intoleransi dan diskriminasi antar umat beragama. Contoh sikap tawassuth dalam kehidupan sehari-hari adalah tidak membeda-bedakan antar kelompok dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Menjaga hubungan baik satu sama lain agar tidak terjadi konflik.

  1. Tawazun (berkeseimbangan)

Tawazun adalah sikap yang mampu menyeimbangkan diri dalam memilih sesuatu sesuai dengan kebutuhan, tanpa bias atau bias terhadap sesuatu. Dalam konteks moderasi beragama, sikap ini sangat penting dalam kehidupan antarumat beragama, agar kita dapat seimbang dalam kehidupan dunia ini, tetapi kita juga dapat seimbang dalam kehidupan akhirat. Sikap tawazun sangat dibutuhkan oleh manusia agar tidak melakukan hal-hal yang berlebihan dan mengesampingkan hal-hal lain yang berhak untuk dipenuhi. Tawazun adalah kemampuan individu untuk menyeimbangkan kehidupannya dalam berbagai dimensi, sehingga tercipta kestabilan, kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Sikap tawazun ini sangat penting dalam kehidupan seorang individu sebagai manusia. Oleh karena itu, sikap tawazun ini harus diterapkan dan diterapkan pada diri siswa: agar mereka dapat melakukan segala sesuatu secara seimbang dalam kehidupannya. Karena jika mengabaikan sikap tawazun dalam hidup ini, berbagai masalah akan lahir.

Materi Keempat: 7 Prinsip dan Karakteristik Moderasi Beragama

  1. I’tidal (lurus dan tegas)

Arti kata Itidal secara harfiah berarti lurus dan teguh, berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya, menjalankan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. Islam mengutamakan keadilan bagi semua pihak. Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan ajaran mulia ini, tanpa mengutamakan keadilan, nilai-nilai agama terasa kering dan tidak bermakna, karena keadilan merupakan ajaran agama yang secara langsung mempengaruhi kebutuhan hidup masyarakat. Tanpa itu, kemakmuran dan kesejahteraan hanya akan menjadi ilusi. Itidal sangat diperlukan dalam kehidupan, karena tanpa itu semua akan mengarah pada pemahaman Islam yang terlalu liberal atau radikal. Peran pendidik dalam memoderasi pendidikan Islam sangat diperlukan untuk pemahaman agama yang lurus, jujur dan kokoh. Contoh sikap I’udal dalam kehidupan sehari-hari adalah seseorang yang selalu mentaati aturan di masyarakat, sekolah dan keluarga siswa Seorang guru atau guru yang memberikan tugas dan nilai yang adil kepada semua siswa atau siswa.

  1. Tasamuh (Toleran)

Tasamuh berasal dari bahasa Arab yang berarti toleransi. Menurut bahasa Tasamuh artinya toleransi, sedangkan menurut istilah saling menghormati dan menghargai antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Contoh tindakan tasamuh dalam kehidupan sehari-hari misalnya bersikap toleran dalam menerima segala perbedaan. Musawah (egalitarian dan non-diskriminatif)

Musawah berarti tidak membeda-bedakan orang lain karena perbedaan keyakinan atau agama, tradisi dan asal usul seseorang. Secara bahasa, musawah berarti persamaan atau persamaan. Artinya, tidak ada pihak yang merasa lebih unggul dari yang lain, sehingga mereka dapat memaksakan kehendaknya. Dalam urusan negara, penguasa tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada rakyat, bersifat otoriter dan eksploitatif. Hal ini karena rakyat dan penguasa memiliki kedudukan dan hak yang sama yang harus dihormati. Dalam konteks umum, musawah dapat dikaitkan dengan kerukunan antarmasyarakat. Dengan adanya musawa, tidak akan terjadi diskriminasi antar masyarakat. Contoh tindakan musyawarah dalam kehidupan sehari-hari: Menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan golongan yang ada di sekitar kita. Tidak memaksakan kehendak orang lain untuk mengikuti ajaran agama kita

 

 

Materi Kelima: 7 Prinsip dan Karakteristik Moderasi Beragama

  1. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas)

Aulawiyah (menempatkan prioritas pada prioritas) adalah kemampuan untuk mengidentifikasi hal-hal yang lebih penting untuk dilaksanakan daripada yang kurang penting. Jika dalam kehidupan sehari-hari kita menjumpai bentrokan dalam beramal, misalnya untuk menentukan prioritas dalam beramal, kita tidak boleh hanya mengandalkan logika, nafsu, analisis fakta atau mengandalkan manfaat dan kerugian suatu perkara. Jika ada konflik dalam amal, bagaimana membuat skala prioritas? Jika boleh bertemu dengan sunnah, maka sunnah harus didahulukan, jika sunnah memenuhi yang wajib, maka yang wajib harus didahulukan, tetapi jika wajib untuk memenuhi kita harus melihat bentuk fardhu ain dan kifayah yang diambil. didahulukan, dan sebagainya. Misalnya dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai konflik seperti: Uang kita terbatas, sedangkan kita juga punya keluarga yang harus kita dukung, di satu sisi kita punya hutang kepada orang yang harus dilunasi, mana yang harus diprioritaskan? Prioritas utama adalah menafkahi keluarga. Hidup harus dijalani.

  1. Tahaddhur (berkeadaban)

Tahadhdhur (berkeadaban) yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri di dunia tanpa adanya orang lain disekitar. Berbuat baik serta tolong menolong menjadi suatu  yang wajib dilakukan demi terciptanya hidup rukun dan damai antar sesama manusia. Tahaddhur dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sangat dibutuhkan, karena dengan adanya sikap ini maka seluruh kegiatan tangan, kami dan mata kita akan dapat terjaga dengan baik.

Materi Keenam: 7 Prinsip dan Karakteristik Moderasi Beragama

  1. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis, kreatif, dan inovatif)

Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif) yang selalu terbuka untuk melakukan perubahan sesuai perkembangan zaman dan menciptakan hal-hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan umat manusia. Arti dari Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif) adalah: selalu terbuka untuk melakukan perubahan sesuai perkembangan zaman dan menciptakan hal-hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan umat manusia. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif) dalam moderasi pendidikan Islam sangat diperlukan, karena merupakan strategi yang disusun sedemikian rupa untuk menjawab berbagai macam permasalahan dan kondisi kekinian yang harus dihadapi oleh setiap orang.

Moderasi Islam menjadi paham keagamaan Islam yang mengejawantahkan ajaran Islam yang sangat hakiki. Ajaran yang tidak hanya mementingkan hubungan baik dengan Tuhan, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah hubungan baik dengan seluruh manusia. Tidak hanya kepada saudara seiman tetapi juga saudara-saudara yang berbeda agama. (Kementerian Agama RI, 2015). Moderasi ini mengedepankan sikap keterbukaan terhadap perbedaan yang ada yang diyakini sebagai sunnatullah dan rahmat bagi manusia. Selain itu, moderasi Islam tercermin dalam sikap yang tidak mudah disalahkan, apalagi mengingkari orang atau kelompok yang berbeda pandangan. Moderasi Islam mengutamakan persaudaraan berdasarkan prinsip kemanusiaan, tidak hanya pada prinsip iman atau kebangsaan. Pemahaman seperti itu menemukan momentumnya di dunia Islam pada umumnya yang sedang dilanda krisis kemanusiaan dan di Indonesia pada khususnya, yang juga masih bercerita tentang sejumlah persoalan kemanusiaan akibat sikap beragama yang kurang moderat. Akibatnya, perkembangan hukum Islam menjadi dinamis dan sesuai dengan perkembangan zaman (Fahrudin, 2019).

 

Pemateri: Dedeh Nur Hamidah, M.Ag

Materi Pertama: Mewujudkan Moderasi di Era Milenial

Narasi moderasi saat ini sebagai entitas paling sensi. Setiap orang membuat parameter tetang moderasi kepada orang lain, dan jika tidak maderasi maka dipertanyakan ttg jatidiri indonesianya bahkan yang lebih ngeri bersiap untuk menjadi musuh indonesia karena dianggap kelompok radikal.

Berangkat dari sabda Nabi man arafa nafsahu faqod arofa rabbahu, sejalan dgn ini, Addzahabi menjelaskan man lam ya’ rafu zataba nafsihi lam ya’raf ghairihi, dapat difahami bahwa jati diri kemanusiaan terletak pada Tauhid, orang yng sehat tauhidnya Sehatlah kemanusiaannya, sehingga mampu menjaga kemanusiaannya. jika sakit tauhidnya maka sakit pula jiwa dan jati diri kemanusiaannya.

Sebagai kesimpulan terdapat beberapa pelajaran membangun maderasi beragama dalam artian membangun jiwa maslahah dan paham keislaman  tawassut yaitu :

  1. Al quwwah wal Izzah adalah anugrah Allah hanya menjadi kemulyaan untuk ummat yang pantas dimulyakan ( almuttaqun).= sebelum turun ayat 60, ditegaskan pada ayat sebelumnya 59 ” wala yahsabannalladzina kafaru sabaqu , innahum la ya’jizun” artinya kekafiran, kemunafikan, dan keyahudiyyan ( khiyanat, zalim dan curang) hanyalah fatamorghana tentang ilusi kesuksesan, tidak akan menghancurkan kebenaran, bahkan kebinasaan mereka hanya tinggal menunggu waktu.kapan? Pada saat ummat pembela kebenaran menjadi nyata ( haqqul mubin).mereka menggunakan seluruh mata, kaki dan segenap potensinya untuk berjuang di jalan Allah, dan bermurah hati menegakkan amanah Allah.
  2. Sejalan dengan itu Alqurkan memuturkan kisah Putrinya syuaib yng berkata ” ya Abati ista’jarhu , inna khoira min ista’jarta AlQowiyyul.Amiin”, kekuatan manusia menjadi berkah jika disertai sehat ( qolbun saliim) sebaliknya kekuatan akan menjadi musibah jika disertai qolbun marid wa qolbun mayyit. Semoga uraian tadi memverikan i’tibar untuk meningatkan Taqwallah. Amiin.
  3. Islam adalah dinurrahmah wassalamah, memerinntahkan segenap umatnya dan berbagai pelosok bumi untuk hidup bersaudara, saling menolong, tidak boleh mendzalimi dan menghianati satu dengan lainnya terlebih ketika menghadapi pandemi, karena siapupun akan mendapat balasannya atas perbuatan yng dilkukannya sesuai amalannya masing – masing. faman yakmal misqula dzrratun khairuyyarah wamain ya.mal mitsqala dzarratun syrrayyayarah.

Semoga Allah melimpahkan Tauhid yang sehat dlm lubuk hati kita, karena hanya dengan Tauhid yang sehat membawa akal yang sehat dan ummat muslim yang sehat dalam berubudiyah dan bermuammalah lirabbil alaamiin. Barakallah lakum.

 

 

 

 

 

Materi Kedua: Kasus Bullying: Tanggung jawab Siapa?

Sore itu, anak kedua saya yang duduk di bangku SMA, bercerita tentang peristiwa perkelahian teman beda kelasnya. Dari ceritanya itu, saya simpulkan adalah peristiwa bullying, di mana ada siswi, sebut saja V, dilempari gulungan kertas oleh teman-temannya berkali-kali sehingga V ini marah dan menjambak salah seorang teman sekelasnya yang dianggapnya menjadi provokator pelemparan kertas tersebut. Peristiwa tersebut berujung dengan pemanggilan siswi yang terlibat, termasuk V, oleh guru BK. Sayangnya, menurut anak saya, penangannya kurang tepat dan malah cenderung menyudutkan V yang sebenarnya menjadi korban. Peristiwa ini membuat saya ingin sekedar mengulik tentang bullying.

Bullying bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Yang saat ini marak terdengar di pemberitaan adalah bullying yang terjadi di sekolah (mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi), rumah, tempat kerja, masyarakat, sampai dunia maya. Aktivitas bullying tidak memilih umur dan jenis kelamin

Kata bullying berasal dari bahasa Inggris, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut penindasan atau risak. Mengutip buku Meredam Bullying, Ken Rigby konsultan ahli sekolah menjelaskan tentang pengertian bullying. Menurut Ken Rigby, bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini bisa dilihat dari sebuah aksi yang menyebabkan seseorang menderita.

Perilaku bullying bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28B ayat 2 berbunyi, “Menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

 

Penyebab Bullying

  1. Penampilan Fisik

Seseorang yang memiliki penampilan fisik berbeda dari orang lain, bisa menjadi target bullying. Para penindas akan mengejek, intimidasi, hingga mengancam penampilan anak tersebut. Mereka akan menyebut anak tersebut dengan kata-kata yang menyakiti hati. Tujuan dari kata-kata ini supaya orang itu merasa rendah diri sampai terasingkan.

  1. Perbedaan Kelas

Perbedaan kelas seperti senior dan junior, ekonomi, gender, etnis, agama, dan ekonomi bisa memicu tindakan bullying

  1. Tradisi Senioritas

Di sekolah sering terjadi tradisi senioritas selama beberapa generasi. Tradisi ini menyebabkan korban merasa terintimidasi karena mendapat kekerasan.

  1. Keluarga

Keluarga besar yang tidak akur bisa mengakibatkan tindakan bullying antar keluarga.

  1. Karakter Seseorang
  2. Munculnya sikap dendam atau iri hati
  3. Adanya rasa ingin mendominasi hingga menimbulkan kekuasaan korban, fisik, kekerasan seksual
  4. Persepsi tentang perilaku korban[2]

Pada cerita anak saya di awal tulisan ini, ada beberapa nalisa sederhana yang bisa saya ambil:

saya menduga bullying terhadap V terjadi karena perbedaan karakter. V adalah anak yang bersikap berbeda. Menurut anak, saya V pernah mengalami depresi sehingga proses pembelajaran di sekolah sempat terganggu selama proses pengobatannya. Saat ini kondisi V sebenarnya sudah jauh lebih baik tetapi lebel anak aneh tetap melekat pada dirinya sehingga hal tersebut memicu perilaku bullying oleh teman sekelasnya.

Penanganan guru BK yang cenderung menyudutkan V menurut saya kurang tepat. Sebagai korban, apalagi dengan riwayat depresi, seharusnya Guru BK bisa memberi dukungan dan penguatan terhadap V, bahkan memberi apresiasi karena V berani melawan, meski pun harus tetap diberi pengertian agar tidak menjadi kekerasan yang berkelanjutan. Demikian juga dengan para pelaku, sebaiknya dibina dan diberi pengertian tentang larangan bullying daripada memarahi mereka.

 

Materi Ketiga: Pluralitas sebagai Basis Moderasi

 

Fakta Pluralitas sebagai Basis Moderasi Beragama Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Penduduknya terdiri dari beragam suku, etnis (sub-etnis), bahasa, bahkan agama dan aliran kepercayaan. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010, yang merupakan sebuah proses pencatatan, perhitungan, dan publikasi data demografis yang dilakukan terhadap semua penduduk yang tinggal menetap di suatu wilayah tertentu, struktur dan komposisi penduduk Indonesia menurut suku bangsa menurut Sensus Penduduk 2010 menempatkan Suku Jawa sebagai suku terbesar dengan populasi 85,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia. Kemudian disusul Suku Sunda dengan jumlah 36,7 juta jiwa atau 15,5 persen. Kemudian Suku Batak di posisi ketiga dengan jumlah 8,5 juta jiwa atau 3,6 persen. Disusul Suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa, dan Gorontalo.

Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia menjadi sorotan penting dalam hal moderasi Islam. Moderasi adalah ajaran inti agama Islam. Islam moderat adalah paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat istiadat, suku dan bangsa itu sendiri (Dawing, 2017, p. 231). Oleh karena itu pemahaman tentang moderasi beragama harus dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual, artinya bahwa moderasi dalam beragama di Indonesia buka Indonesia yang dimoderatkan, tetapi cara pemahaman dalam beragama yang harus moderat karena Indonesia memiliki banyaknya kultur, budaya dan adat-istiadat.

Moderasi Islam ini dapat menjawab berbagai problematika dalam keagamaan dan peradaban global. Yang tidak kalah penting bahwa muslim moderat mampu menjawab dengan lantang disertai dengan tindakan damai dengan kelompok berbasis radikal, ekstrimis dan puritan yang melakukan segala halnya dengan tindakan kekerasan (Fadl, 2005, p. 343). Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan; Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami teks-teks keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakankekerasan; Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain.

Materi Keempat:Bersikap Moderat dan Inklusif

Dalam upayanya itu mereka mengutip teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadis) dan karya-karya ulama klasik (turats) sebagai landasan dan kerangka pemikiran, tetapi dengan memahaminya secara tekstual dan terlepas dari konteks kesejarahan. Sehingga tak ayal mereka seperti generasi yang terlambat lahir, sebab hidup di tegah masyarakat modern dengan cara berfikir generasi terdahulu (Hanafi, 2013, pp. 1–2). Heterogenitas atau kemajemukan/keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini.Ia adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan.

Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis, suku, dan kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan berbagai dialek. Dalam kerangka kesatuan syari’at, Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai hasil ijtihad masing-masing. Dalam kerangka kesatuan umat (ummatan wahidah), Allah menciptakan berbagai agama. Keberagaman dalam beragama adalah sunnatullah sehingga keberadaannya tidak bisa dinafikan begitu saja (Ali, 2010, p. 59).

Dalam menghadapi masyarakat majemuk, senjata yang paling ampuh untuk mengatur agar tidak terjadi radikalisme, bentrokan adalah melalui pendidikan Islam yang moderat dan inklusif (Alam, 2017, p. 36). Dalam realitas kehidupan nyata, manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perkara-perkara yang berseberangan. Karena itu al-Wasathiyyah Islamiyyah mengapresiasi unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan insaniyyah (kemanusiaan), mengkombinasi antara maddiyyah (materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu (revelation) dan akal (reason), antara maslahah ammah (al-jamāiyyah) dan maslahah individu (al-fardiyyah) (Almu’tasim, 2019).

Materi Kelima: Pengarusutamaan Moderasi Beragama

Pemerintah tengah mengarusutamakan penguatan moderasi beragama (MB) yang menjadi salah satu program prioritas nasional. Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Menteri Agama (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan MB. Pertama, berkembangnya pemahamaan dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem, sehingga malah bertolak belakang dengan esensi ajaran agama.

“Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia. Pemahaman keagamaan disebut berlebihan dan ekstrem, jika justru mengingkari nilai kemanusiaan dengan mengatasnamakan agama,” jelas Lukman Hakim Saifuddin dalam Rapat Koordinasi dan Percepatan Pelaksanaan Program Moderasi Beragama, Kamis (19/8/2021).

Tantangan kedua, lanjut pria yang akrab disapa LHS ini, adalah munculnya klaim kebenaran atas tafsir agama. Menurutnya, ada sebagian orang yang merasa paham tafsir keagamaannya sajalah yang paling benar, lalu memaksa orang lain yang berbeda untuk mengikuti pahamnya, bahkan bila perlu dengan menggunakan cara paksaan dan kekerasan.

“Ini yang disebut melampaui batas dan berlebihan dalam beragama. Jadi, klaim kebenaran sepihak lalu memaksakan kehendak,” tuturnya.

Tantangan ketiga, pemahaman yang justru merongrong atau mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaaan. LHS mencontohkan pemahaman orang yang atas nama agama lalu menyalahkan Pancasila, mengharamkan hormat bendera, mengkafirkan orang yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, bahkan mengajarkan bahwa nasionalisme tidak penting karena tidak diajarkan agama.

“Ini adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan dan melampaui batas dalam konteks keindonesiaan kita. Cara pandang ini harus dimoderasi,” tegas LHS.

“Jadi yang dimoderasi, diposisikan untuk berada di tengah, tidak ekstrem kanan dan kiri, itu cara beragamanya, bukan agama itu sendiri,” sambungnya.

Terkait tiga tantangan tersebut, LHS menegaskan bahwa kebijakan penguatan MB diarahkan pada upaya membentuk SDM Indonesia yang berpegang teguh dengan nilai dan esensi ajaran agama, berorientasi menciptakan kemaslahatan umum, dan menjunjung tinggi komitmen kebangsaan.

Materi Keenam:Pengarusutamaan Moderasi Beragama oleh Kementerian Agama

Dalam empat tahun terakhir Kemeterian Agama aktif mempromosikan pengarusutamaan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan menemukan momentumnya

Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam
dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh
penggunaan akal.

Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.

Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.

Retaknya hubungan antarpemeluk agama di Indonesia saat ini, menurut Nafik Muthohirin (Sindo: 7 Mei 2018), dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu.

Kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran. Populisme agama itu muncul akibat cara pandang yang sempit terhadap agama, sehingga merasa paling benar dan tidak bisa menerima ada pendapat yang berbeda.

[1] Tarekat Syatariyah adalah aliran tarekat yang muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada pendirinya yaitu Abdullah asy-Syattar (w. 1429 M). Tarekat Syatariyah berkembang luas dan menyebar hingga ke Makkah oleh Syaikh Ahmad al-Qusyasi (w. 1660) dan Syaikh Ibrahim al-Kurani (w. 1689). Dari keduanya, berlanjut ke Syaikh Syekh Abdurrauf as-Sinkili. Dari as-Sinkili diteruskan oleh Abdul Muhyi Pamijahan, selanjutnya diteruskan kepada Kyai Muqayyim. Dari Kyai Muqayyim selanjutnya kepada Kyai Muta’ad, Kyai Sholeh, Kyai Abdul Jamil dan dari Kyai Abdul Jamil kepada Kyai Abbas. Didin dan Farihin, Jaringan Ulama Cirebon: Keraton, Pesantren dan Tarekat, halaman. 140

[2] https://dppkbpppa.pontianak.go.id/informasi/berita/bullying-sering-terjadi-di-sekolah-dan-lingkungan

 

 

 

Scroll to Top